PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI DALAM BEDAH MULUT MINOR
(BAGIAN I)
Stephen F. Worral
PENDAHULUAN
Kebanyakan komplikasi melibatkan sisi operatif dan dapat terjadi baik secara perioperatif atau pasca operatif. Penjelasan mengenai pencegahan dan penanganan komplikasi ini merupakan tujuan penulisan bab ini. Meskipun komplikasi yang terjadi biasanya bersifat minor, tetapi kadangkala, komplikasi sistemik yang mengancam nyawa seperti gangguan pada sistem pernafasan atau cardiac arrest dapat terjadi. Kegawatdaruratan medis ini seringkali tidak terduga dan sepertinya menjadi lebih umum pada populasi pasien dengan peningkatan usia dan terlebih lagi pada pasien dengan keadaan kesehatan yang parah dan membutuhkan prosedur pembedahan. Adalah diluar lingkup dari bab ini untuk mencakup secara terperinci perlunya tindakan pencegahan, dan penanganan pasien dengan komplikasi riwayat kesehatan dan riwayat gigi, dan pembaca ditunjukkan kepada banyak teks yang tersedia dan mencakup hal ini secara mendalam (1,2).
Dalam banyak cara, istilah “bedah mulut minor” ini sayangnya disalahartikan sebagai implikasi bahwa prosedur yang dilakukan adalah sederhana dan kelanjutan pasca operasi merupakan suatu hal yang kurang penting. Hal tersebut juga dapat memberikan kesan bahwa dibutuhkan keterampilan dan perhatian yang lebih sedikit dibandingkan pada tindakan “bedah mulut mayor”. Hal ini merupakan kesalahpahaman yang berbahaya. Ada beberapa ahli bedah oromaksilofasial yang kurang berpengalaman yang belum dapat melakukan tindakan pembedahan sederhana terhadap gigi molar ketiga rahang bawah. Terlebih lagi, komplikasi menyertai beberapa pembedahan dimana toleransi pasien sangat jelek, mereka menyangka tindakan bedah minor tidak seharusnya menghasilkan suatu kecacatan yang besar.
Mengikuti aksioma bahwa pencegahan itu lebih baik daripada mengobati, cara terbaik untuk menangani komplikasi adalah dengan tidak menempatkan prosedur bedah dalam urutan pertama. Untuk sementara, beberapa komplikasi yang menyertai bedah mulut minor adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan, kebanyakan dari komplikasi tersebut sebenarnya dapat dan seharusnya dicegah.
Penilaian perioperatif dan rencana perawatan
Hal ini merupakan suatu sine qua non dari seluruh praktek medis dan bedah yang harus dimiliki oleh para praktisi yaitu keahlian dan keterampilan untuk merencanakan suatu prosedur tindakan bedah. Para ahli bedah yang bijaksana adalah mereka yang berhati-hati terhadap keterbatasan personal pada wilayah ini dan akan tidak memilih untuk melakukan tindakan operasi yang berada diatas kapabilitasnya. Sampai tingkatan tertentu dan dengan beberapa kualifikasi, prinsip ini juga dapat diaplikasikan untuk menangani komplikasi. Jika seorang ahli bedah kurang memiliki kemampuan untuk mengatasi fraktur dan mempertahankan akar atau menutup suatu oro-antral fistula kemudian harus ditanyakan secara serius mengenai kebijaksanaannya untuk menempatkan prosedur ekstraksi gigi pada tempat pertama. Lebih lanjut lagi, secara keseluruhan tetapi merupakan yang paling sederhana adalah diperlukan pertolongan asisten yang berpengalaman dan memiliki keterampilan. Hal ini khususnya sangat penting bagi ahli bedah junior dalam pelatihan yang mana seringkali melakukan “finish the list” dengan hanya menjadikan perawat scrub untuk menjadi asisten pertama.
Pengambilan Catatan Kesehatan dan Pelatihan Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan peningkatan risiko terjadinya komplikasi kesehatan dan bedah sebaiknya diidentifikasi sebelum tindakan operasi dan diikuti dengan pengambilan riwayat kesehatan dan riwayat gigi yang komprehensif dan harus diperbarui pada setiap kunjungan. Pertanyaan yang spesifik sebaiknya ditanyakan mengenai penyakit pernafasan dan jantung yang pernah diderita sebelumnya, kehamilan, diabetes, perdarahan yang berlebihan yang menyertai luka minor, terapi obat-obatan terdahulu dan saat ini termasuk anti koagulan dan steroid, pengalaman anastesi umum dan lokal sebelumnya, dan semua alergi obat. Adanya riwayat kesulitan dalam pencabutan gigi, perdarahan pasca pencabutan dan radioterapi pada daerah operasi harus diperhatikan secara serius.
Penanganan komplikasi yang lebih serius pada bedah mulut minor berada diatas kapabilitas dari ahli bedah yang relatif tidak berpengalaman, khususnya jika terjadi dalam lingkup rumah sakit dimana terdapat kesiapan akses terhadap seluruh peralatan yang dibutuhkan, obat-obatan dan pelayanan pendukung. Pada situasi ini ahli bedah operasi memiliki tanggung jawab untuk peduli terhadap pasien untuk mengenali adanya komplikasi dan konsul dengan atau kepada sejawat yang lebih berpengalaman (biasanya konsultan ahli bedah oromaksilofasial setempat) untuk penanganan dan perawatan komplikasi ini. Bergantung pada keparahan dari masalah tersebut, penyerahan via telepon mungkin lebih tepat dibandingkan melalui surat biasa. Berbuat salah merupakan hal yang manusiawi, tetapi gagal dalam mengenali kesalahan dan pengambilan tindakan yang segera dan tepat untuk mengatasinya adalah suatu kelalaian. Menjadi hal yang mendasar bahwa secara langsung seluruh hal yang saling mempengaruhi dalam perawatan pasien dipenuhi oleh pembicaraan mengenai teori dan praktek basic life support dan resusitasi. Hal ini diterapkan kepada ahli bedah yang hanya pernah merawat pasien dibawah anastesi lokal sebagaimana mereka yang secara rutin menerapkan sedasi atau anastesi umum dalam prakteknya. Sekali dipelajari, keterampilan basic life support harus secara teratur dipraktekkan oleh mereka yang termasuk dalam tim bedah sampai setiap orang sadar secara penuh dengan tugasnya masing-masing. Peralatan kegawatdaruratan medis dan peralatan resusitasi harus diperiksa secara teratur, dipelihara dan diservis. Sesuatu yang sederhana dan kelihatan sebagai suatu tindakan nyata seperti menjaga daftar nomor telepon kontak layanan gawat darurat, yang mana idealnya terdapat pada daerah perawatan pasien, dapat memberikan penyelamatan yang berharga dan berpotensi untuk menyelamatkan nyawa dalam hitungan menit dalam penanganan pasien yang menderita gagal jantung (cardiac arrest).
Peralatan Bedah
Kebanyakan prosedur bedah mulut minor tidak membutuhkan jumlah instrumen yang banyak. Meskipun demikian, ahli bedah harus melengkapi dirinya dengan semua peralatan yang diperlukan untuk memenuhi keamanan prosedur sebelum memulai tindakan dan mampu menghadapi setiap komplikasi yang setara dengan pengalamannya; bersih dan steril. Cahaya yang adekuat untuk melihat gigi molar ketiga rahang bawah bisa menjadi tidak adekuat pada saat seseorang melakukan tindakan pengangkatan erupsi sebagian gigi molar ketiga rahang atas yang berlawanan dengan gigi molar ketiga rahang bawah tadi. Khususnya jika diperlukan pengangkatan tulang untuk mempermudah pengangkatan gigi. Kurangnya pencahayaan yang adekuat, sebaliknya dapat menjadikan prosedur menjadi susah dan suatu prosedur yang susah hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Pertimbangan serupa juga harus diberikan terhadap peralatan suction yang digunakan. Di Amerika Serikat para klinisi dianjurkan untuk memiliki beberapa bentuk peralatan suction yang tersedia setiap saat dan juga mempunyai persediaan baterai cadangan jika terjadi masalah daya. Suatu aspirator saliva bervolume rendah dapat digunakan pada perdarahan minimal pada saat pengangkatan flap mukoperiosteal, tetapi tidak mampu untuk menangani hemoragik yang dapat muncul dari pembuluh nutrisi atau arteri alveolar inferior. Perawatan jalan nafas pasien dan konsekuensinya merupakan hal yang sangat penting.
Radiograf
Jika terjadi kerusakan struktur vital, maka dibutuhkan pemahaman yang jelas akan anatomi daerah operasi termasuk adanya variasi lokal yang dapat mempersulit prosedur normal. Setelah itu barulah para klinisi dapat melanjutkan rencana perawatan. Proses ini harus menjadi proses yang utama pada setiap prosedur operasi yang akan dilaksanakan. Prosedur bedah mulut minor melibatkan jaringan keras membutuhkan informasi yang berasal dari pemeriksaan klinis pada pasien yang ditambah dengan gambaran praoperasi. Pada kebanyakan kasus hal ini berarti perencanaan radiograf pada daerah tersebut. Hal tersebut telah menjadi aksioma bahwa gambaran radiograf harus menggambarkan daerah yang akan dioperasi, dan juga harus dengan kualitas yang bagus sehingga dapat dibedakan struktur tersebut dari yang lainnya. Suatu radiograf yang memperlihatkan gambaran gigi molar ketiga yang kabur, kelebihan paparan atau bergaris merupakan sesuatu yang buruk dibandingkan tidak menggunakan gambaran radiograf atau mendasarkan suatu operasi pada gambaran radiograf yang membabibuta. Untuk apikoektomi, suatu radiograf intraoral diterima jika tersedia gambaran akar dari gigi yang bersangkutan pada kedua sisi dari gigi indeks. Jika dilakukan suatu apikoektomi dan suatu enukleasi kista maka gambaran tepi luar dari kista tersebut harus terlihat dalam radiograf. Radiograf dari gigi molar ketiga harus memperlihatkan:
· Keseluruhan gigi molar ketiga dan jenis impaksinya
· Keseluruhan konfigurasi dari molar pertama dan kedua jika ada
· Tulang yang akan ditanam segera dan keseluruhan ruang perikoronal
· Hubungan antara akar gigi molar ketiga dengan saluran neurovaskular
· Jika terdapat atau adanya perluasan dari perubahan patologis
Dalam kebanyakan situasi, hal ini tidak akan diperoleh jika hanya menggunakan gambaran radiograf periapikal intraoral tunggal untuk rencana praoperasi pencabutan gigi molar ketiga. Penggunaan survei radiograf seperti gambaran oblik lateral dan tomogram rotasional menjadikan kebutuhan ini dapat tercapai.
Ortopantomogram (OPT) merupakan jenis tomogram rotasional yang paling umum digunakan di Inggris dan memberikan gambaran yang sangat bagus dari keseluruhan gigi dan struktur yang bersangkutan dalam satu film. Suatu OPT pra operasi atau radiograf yang setara merupakan pemeriksaan yang wajib utamanya untuk pencabutan gigi molar ketiga rahang bawah, tanpa memperhatikan erupsinya dan jenis impaksinya. Jika ada keraguan dalam hubungan gigi dengan saluran neurovaskular pada OPT pra operasi, maka sebaiknya diambil suatu radiograf intraoral kualitas tinggi pada daerah tersebut. Meskipun mungkin hal ini tidak mendasar, hal ini merupakan tindakan pencegahan yang bijaksana untuk mendapatkan suatu radiograf utamanya untuk pencabutan gigi apapun jika terdapat kelainan yang harus diminimalkan. OPT ini ideal untuk tujuan tersebut. Seluruh radiograf seharusnya ditandai dengan nama pasien atau catatan nomor kasus dan harus diperiksa dengan teliti apakah gambaran tersebut benar-benar berorientasi pada aspek kanan dan kiri yang tepat.
Anastesi Lokal
Jika harus diberikan suatu anastesi lokal, seperti halnya dengan semua obat, maka harus diyakini apakah larutan yang digunakan belum pernah digunakan sebelumya dan bukan barang kadaluwarsa. Suatu spoit atau teknik aspirasi harus digunakan dalam setiap kasus untuk menghindari injeksi intravaskular. Jika digunakan infiltrasi lokal anastesi kedalam ligament periodontal, maka sangat penting untuk menggunakan spoit yang didesain khusus yang bukan hanya menghantarkan naiknya larutan dalam jumlah kecil, tetapi juga memasukkan secara keseluruhan isi dari tabung spoit tersebut. Penggunaan spoit dental biasa untuk injeksi ligament akan menghasilkan seringnya fraktur atau meledaknya tabung spoit akibat tekanan yang tinggi. Bahaya pasien dan ahli bedah dari kaca yang berhamburan dari meledaknya spoit tadi merupakan hal yang jelas dan dapat dihindari.
Tarkadang, pasien diberi label dengan resisten terhadap anastesi lokal. Hal ini biasanya dipusatkan pada kegagalan tercapainya keadaan analgesia bedah dengan suatu blok nervus alveolaris. Jika bukan karena adanya infeksi lokal pada daerah tersebut, maka penyebab utama dari kegagalan ini adalah kesalahan teknik. Jika ahli bedah yakin bahwa teknik yang digunakannya benar, maka kemungkinan hal itu disebabkan karena adanya variasi anatomi pada daerah lidah. Hal ini mungkin berkaitan dengan foramen lidah yang tinggi atau rendah secara tidak normal atau lidah itu sendiri yang lebih besar dibandingkan keadaan normal sehingga menjadi suatu barier fisik bagi jarum hipodermik. Inspeksi tertutup pada OPT di daerah lidah biasanya akan memperlihatkan masalah. Oleh karena itu, suatu variasi teknik yang ringan, biasanya dengan menginjeksi beberapa sentimeter atau lebih tinggi akan mengatasi masalah ini.
Jika setelah reposisi dari spoit dan pengulangan injeksi tetapi analgesi bedah masih belum dicapai, maka untuk menghindari toksisitas yang tidak diinginkan dan kemungkinan komplikasi jantung maka penting bagi ahli bedah untuk tidak melanjutkan injeksi yang lebih dan anastetik yang lebih untuk harapan kesuksesan yang buta. Dosis keamanan maksimum untuk lignocaine yang terdiri dari suatu vasokonstriktor adalah 7,0 mg/kg (0,35 ml/kg pada larutan 2%) dan dosis total untuk adrenalin tidak melebihi 200 µg (16 ml pada larutan 1:80.000).
Memperoleh Persetujuan Pasien
Terutama untuk melakukan prosedur operasi, para ahli bedah harus memperoleh persetujuan pasien untuk perawatannya. Kegagalan untuk mendapatkan persetujuan akan menyebabkan terbukanya kesempatan bagi pihak pasien untuk mengajukan tuntutan jika terdapat kelalaian dan kemungkinan tuntutan kriminal hanya untuk masalah baterai. Persetujuan harus diberikan secara sukarela dan pasien harus dapat memahami prosedur perawatan, telah diinformasikan dengan tepat terlebih dahulu dan diberikan kesempatan untuk menanyakan beberapa pertanyaan sehubungan dengan perawatannya. Dalam beberapa keadaan hal ini mungkin dibutuhkan adanya penterjemah dan informasi multi bahasa dan dibutuhkan ketersediaan kertas persetujuan.
Menjadi penting untuk dimengerti bahwa mendapatkan persetujuan tidaklah sesederhana meminta ijin kepada pasien secara verbal untuk memperoleh perawatan bagi dirinya sendiri. Sangat penting bagi pasien untuk memberikan persetujuan yang adekuat untuk suatu operasi atau perawatan, pasien harus diinformasikan secara lengkap dan mempunyai pemahaman akan konsekuensi dan komplikasi dari perawatan tersebut. Terlebih lagi, hal ini menjadi sangat penting bahwa pasien sepenuhnya sadar akan keuntungan dan kerugian dari beberapa strategi penanganan alternatif pada rencana perawatan. Dalam banyak kasus hal ini termasuk pilihan bahwa tidak ada perawatan sama sekali. Jenis anastesi yang digunakan dan efek samping yang mungkin timbul dan komplikasinya seperti reaksi obat dan flebitis harus juga didiskusikan dengan pasien ketika meminta persetujuan.
Jika seorang pasien menderita komplikasi dari suatu prosedur yang tidak di peringatkan tentangnya sebelum operasi, tanpa adanya perkiraan kelalaian, ahli bedah tersebut dapat digugat untuk pelanggaran atas kewajibannya terhadap pasien (5).
Banyak perdebatan yang terjadi mengenai komplikasi yang mana yang harus dengan tegas diperingatkan kepada pasien. Diperkirakan bahwa pasien sebaiknya diberitahukan mengenai setiap komplikasi yang mungkin terjadi secara spesifik dengan frekuensi minimum kejadiannya antara 1% hingga 10% (6). Bagaimanapun, sekarang ini telah diterima bahwa pasien sebaiknya menerima peringatan yang spesifik tentang setiap kondisi sementara yang terjadi pada 5% atau lebih dari kasus tersebut dan setiap kondisi permanen yang terjadi pada 0,5% dari kasus (7). Hal ini berarti bahwa setiap pasien harus diperingatkan mengenai risiko nyeri pasca operasi, perdarahan, luka memar, pembengkakan dan keterbatasan fungsi. Pasien yang menjalani pengangkatan gigi molar ketiga rahang bawah sebaiknya diperingatkan akan risiko anastesi nervus alveolaris inferior dan lingualis, parastesi dan disestesi. Hal tersebut merupakan beberapa dari persetujuan yang diperoleh dari penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa 4% dari ahli bedah oromaksilofasial di Inggris yang tidak memperingatkan pasiennya secara rutin tentang kemungkinan kerusakan saraf yang menyertai pembedahan gigi molar ketiga rahang bawah (8).
Serupa dengan itu, pasien yang menjalani prosedur dalam wilayah divisi terminal dari nervus fasialis seperti biopsi kulit, injeksi racun botulinium untuk hipertropi masseter dan artrosentesis/artroskopi dan lain sebagainya harus diperingatkan tentang kemungkinan kelemahan permanen pada wajah. Juga penting untuk menjelaskan kepada pasien bahwa pasien tersebut (khususnya mereka yang mengasuh anak di rumah) agar bersiap-siap bahwa mereka mungkin akan membutuhkan bantuan dan dukungan untuk beberapa hari pasca operasi sehingga harus meninggalkan rutinitas kerjanya.
Sayangnya, meskipun memberikan peringatan verbal seperti yang telah diuraikan diatas akan memastikan bahwa ahli bedah tersebut patuh dengan “surat hukum” mereka tidak mungkin cukup untuk memastikan bahwa dia patuh dengan “semangat hukum”. Hampir 50% dari pasien gagal untuk dipanggil kembali untuk diberitahukan tentang sekurang-kurangnya satu komplikasi pasca operasi (5). Pemanggilan kembali pasien untuk peringatan pra operasi dan dengan implikasi yang meluas dimana persetujuan mereka telah diinformasikan secara lengkap dapat meningkat dengan penggunaan tambahan informasi tertulis sebagai standar peringatan verbal (9,10). Tape audio dan video juga dapat digunakan selama konsultasi dan ketika mengambil persetujuan pasien. Hal ini memiliki manfaat dari standarisasi dan pemastian bahwa seluruh hal yang dianggap relevan telah tercakup bagi seluruh pasien.
Persetujuan penting untuk diperoleh dari pasien bukan hanya pra operasi tetapi juga untuk setiap prosedur yang menyertainya, sebelum peresepan obat dan dalam hal detail di daerah dimana akan dilaksanakan prosedur tersebut (11). Hal ini berarti bahwa hal ini tidak dapat diterima jika pasien diwawancarai dan dimintai persetujuannya oleh operator bedah dalam ruangan anastesi sesaat sebelum operasi dilaksanakan. Para klinisi dituntut untuk mendapatkan persetujuan pasien yang telah mendapatkan pemahaman yang jelas akan prosedur yang akan dilakukan dan komplikasi yang mungkin terjadi jika dia dapat menjawab pertanyaan pasien secara adekuat dan perhatian. Tugas ini biasanya diserahkan kepada anggota tim yang paling junior yang seringkali kurang berpengalaman, untuk mendapatkan informasi persetujuan pasien yang lengkap dan mungkin tidak pernah diajarkan pada perekrutan medico-legal (12). Ketika melengkapi bagian perawatan yang diusulkan dalam formulir persetujuan harus selalu dikonsultasikan dengan bagian sesuai pada catatan kasus pasien dan memastikan bahwa pasien tersebut telah menyetujui perawatan yang diajukan. Jangan pernah hanya mempercayakan daftar kamar bedah atau buku kamar bedah dan sejenisnya untuk informasi ini dalam satu buku atau catatan. Seringkali catatan ini tidak tepat akibat kesalahan pencetakan atau penulisan. Jika terdapat keraguan apapun yang berkaitan dengan suatu hal yang mendasar dari perawatan yang diajukan oleh klinisi supervisor, biasanya dikonsultasikan kepada konsultan ahli bedah oromaksilofasial.
Setiap orang yang terlibat dalam pengambilan persetujuan pasien di Inggris harus membaca dan memahami isi dokumen pelaksanaan pelayanan kesehatan nasional (National Health Service Executive) sebagai suatu pedoman untuk persetujuan pemeriksaan dan perawatan (13)
Anak dibawah usia 16 tahun (18 tahun untuk di Amerika kecuali jika pasien telah menikah) dapat memberikan atau menahan persetujuan mereka untuk dirawat kepada orang tua mereka atau walinya jika klinisi percaya bahwa mereka mampu secara mental untuk membuat keputusan informed consent. Kapanpun jika klinisi tidak puas akan kemampuan anak tersebut untuk dapat memahami keseluruhan prosedur yang diajukan dan komplikasinya, persetujuan harus dicari dari orangtua pasien atau wali sahnya kecuali dalam keadaan gawat darurat dimana tidak ada cukup waktu untuk memperolehnya (13). Dalam keadaan pengecualian tersebut, dan setelah diskusi yang lengkap dengan orangtua dari anak ini dan menghadirkan saksi, jika klinisi percaya bahwa orangtuanya menolak memberikan persetujuan untuk dirawat dan tampaknya hal tersebut akan merugikan kesehatan sang anak, maka klinisi dapat menemui pemerintah atau pengadilan untuk memperoleh persetujuan dari hakim. Jika waktu tidak memungkinkan untuk melakukan hal ini, kemudian ahli bedah yang bertugas bertanggung jawab terhadap perawatan anak ini (biasanya konsultan ahli bedah oromaksilofasial) sebaiknya mencari dan memperoleh laporan tertulis dari konsultan sejawat yang mendukung bahwa hidup anak ini akan berada dalam bahaya jika perawatan ditunda. Jika pasien dewasa tidak mempunyai kemampuan mental untuk memberikan informed consent dan tidak ada seorangpun yang dapat memberikan persetujuan untuk kepentingan mereka, maka hukum memberikan ijin perawatan untuk dilakukan asalkan hal tersebut dapat didemonstrasikan dan menjadi hal yang menarik bagi pasien. Beberapa perawatan sebaiknya didiskusikan dengan keluarga dekat pasien jika memungkinkan tetapi keputusan akhir untuk memproses perawatan terletak pada klinisi dengan tanggung jawab terhadap keselamatan pasien.
Asalkan para ahli bedah mengikuti prosedur diatas dan dapat didemonstrasikan untuk memperoleh ketertarikan yang paling baik dari pasien mau tidak mau tindakan ini akan mendapat kritikan dari pengadilan atau badan professional mereka (13). Tentu saja, dalam keadaan tertentu jika gagal untuk memberikan perawatan yang dibutuhkan hal ini dapat diartikan sebagai kelalaian. Jika waktu terbatas, ahli bedah harus bijaksana untuk mengkonsultasikan kepada asosiasi jaminan kesehatan untuk mencari pedoman keahlian yang sah sebelum memulai setiap perawatan yang belum memperoleh persetujuan dari pihak pasien.
Setelah memperoleh informed consent yang lengkap, seluruh peringatan dan penjelasan yang diberikan sebaiknya dicatat dalam catatan kasus dan pasien atau orangtua diminta untuk bertandatangan pada lembar persetujuan yang menyatakan bahwa mereka telah diinformasikan, dan mengerti akan hal-hal yang mendasar dan konsekuensi dari prosedur tersebut. Contoh lembaran persetujuan yang sesuai dengan standar dan pedoman diatas tersedia bagi pasien yang akan dirawat dalam Pelayanan Kesehatan Nasional Inggris (UK National Health Service). Tanda tangan pasien diatas lembar persetujuan tanpa memperoleh informed consent yang lengkap tidak dilindungi secara hukum dalam menghadapi tuntutan jika terjadi kegagalan dalam tanggung jawab terhadap perawatan pasien.
Pemeriksaan Akhir
Tidak jarang, pasien berada dalam daftar tunggu untuk beberapa waktu sehubungan dengan operasi mereka. Maka penting untuk memeriksa kembali apakah masalah yang menjadikan mereka harus dioperasi belum sembuh dan tidak lagi memerlukan perawatan atau tanda dan gejala tidak berubah seperti munculnya diagnosa banding dan rencana perawatan yang berbeda dari rencana semula. Dalam situasi seperti ini, dan jika operasi perawatan masih mengindikasikan keseluruhan proses untuk memperoleh informed consent harus diulang. Persetujuan tertulis sebaiknya bersifat sementara dengan perawatan yang dikerjakan dan jika telah diperoleh pada beberapa waktu lalu maka sebaiknya diulang. Di Amerika Serikat, beberapa rumah sakit memiliki peraturan sendiri akan waktu yang tepat untuk mendapatkan persetujuan sehubungan dengan perawatan walaupun hal tersebut diserahkan kepada pertimbangan ahli bedah ketika bekerja dalam kantor/kliniknya sendiri.
Utamanya untuk membuat insisi awal atau aplikasi tang dan elevator ke gigi, ahli bedah/operator segera harus memeriksa kembali catatan pasien dan lembar persetujuannya untuk memastikan bahwa hal tersebut adalah prosedur yang benar termasuk tentang apakah tindakan tersebut dilakukan pada sisi yang tepat dan pada pasien yang tepat. Hal ini khususnya tepat dimana ahli bedah operasi bukan orang yang mengambil informed consent dari pasien. Ketika terdapat gigi jamak yang akan dicabut dan dalam setiap kasus pencabutan untuk tujuan ortodontik maka diharapkan kebijaksanaan operator untuk mencatat dengan jelas gigi apa saja yang akan dicabut pada papan yang dapat dibaca dari sisi kursi/meja sebagai pemeriksaan terakhir sebelum memulai pencabutan masing-masing gigi.
Merupakan hal yang sangat penting bahwa terdapat akses dan akspose bedah yang adekuat pada daerah operasi. Insisi harus dapat memungkinkan operator untuk melihat secara aman dan keseluruhan daerah operasi dengan kebutuhan retraksi jaringan yang minimal dan diposisikan dengan memperhatikan struktur vital disekitarnya dan estetiknya. Semua yang lain sudah sama kecuali, suatu insisi sepanjang 2 cm akan sembuh sama baik dan cepatnya dengan insisi sepanjang 1 cm. Hal itu dapat sedikit dimengerti untuk melakukan pembuatan suatu “key hole” sebagai sesuatu yang akan meningkatkan risiko kerusakan disekeliling jaringan sebagai hasil dari penarikan dan sobekan jaringan.
Hal ini seharusnya diingat, terutama oleh ahli bedah junior yang dalam pelatihan bahwa ahli bedah operasi yang akhirnya bertanggung jawab secara legal dan moral untuk setiap tindakannya. Hal ini khususnya sesuai dengan peraturan rumah sakit yang tidak jarang ahli bedah yang melakukan operasi bukan merupakan orang yang mengambil surat persetujuan pasien (8).
Dalam penyelesaian operasi pencabutan seluruh gigi, akar, peralatan, jarum dan kain harus dihitung untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam luka pembedahan. Jika pek pada tenggorokan telah dipasang pra operasi untuk melindungi jalan nafas, maka hal itu menjadi tanggung jawab ahli bedah untuk memastikan bahwa pek ini telah dilepas, untuk informasi secara langsung apa yang telah dilakukan oleh ahli anastesi dan untuk meyakinkan bahwa hal tersebut telah dicatat pada catatan operasi pasien. Kegagalan untuk mengikuti protokol ini akan meyebabkan pasien menderita gagal nafas suatu hari secepatnya setelah ekstubasi dengan potensi konsekuensi yang fatal.
Sebelum membicarakan komplikasi individual secara lebih terperinci, merupakan pernyataan yang sangat berharga bahwa meskipun ditangani oleh ahli bedah yang terbaik dan paling berpengalaman, kecelakaan mungkin saja tetap akan terjadi dan operasi akan berjalan dengan salah. Dalam situasi ini, mempercepat semua perawatan dan perawatan yang sepadan dengan keterampilan dan pengalaman ahli bedah, sangat penting untuk mencatat setiap rinci dalam perintah secara kronologis dan tanggalnya pada catatan kasus pasien. Sekali dicatat, tidak boleh dilakukan perubahan terhadap masukan yang asli. Pasien harus diinformasikan secara lengkap terhadap apa yang telah terjadi, kenapa hal tersebut terjadi dan langkah yang telah dan akan dilaksanakan untuk mengatasi keadaan tersebut. Dalam semua hal “kejujuran adalah kebijakan yang terbaik” dan beberapa tuntutan medicolegal dapat disanggah dengan menerapkan strategi ini.
KOMPLIKASI PERIOPERATIF
Pencabutan Gigi yang Salah
Pencabutan gigi yang salah merupakan suatu kesalahan yang dapat dihindari yang mana dapat dengan mudah dicegah dengan memastikan identifikasi yang tepat pada pasien dan gigi yang akan dicabut (14). Gigi yang umumnya salah dalam pencabutan adalah gigi kaninus rahang atas sebagai ganti dari gigi premolar pertama rahang atas, premolar permanen rahang bawah dengan molar sulung bawah dan molar kedua atas dengan molar ketiga atas. Yang terakhir khususnya mungkin dapat terjadi gigi molar ketiga atas erupsi sebagian dan susah untuk dilihat. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan ini dan “pengecualian” terhadap gigi yang akan dicabut akan menjadi beberapa cara untuk meminimalkan kejadiannya. Sumber umum dari kebingungan adalah identifikasi yang tepat terhadap satu dari 2 gigi molar ketika molar lainnya tidak ada. Meskipun ada konvensi penamaan untuk mengatasi hal ini, catatan tangan yang panjang seperti “gigi molar kanan bawah yang pertama kali berdiri” sebagai ganti dari 7 kanan bawah atau 47 dapat menghindari terjadinya kebingungan ini jika gigi molar ketiga erupsi dan gigi molar pertama tidak ada. Situasi serupa terjadi ketika hanya satu dari 2 gigi yang tidak erupsi atau bersebelahan yang dicabut. Hal ini umumnya merupakan permintaan sebagai bagian dari rencana perawatan ortodontik dan bagaimanapun juga hal ini harus dihindari.
Jika mencabut gigi yang salah, ahli bedah tersebut harus meneruskan mencabut gigi yang tepat kecuali jika pencabutan untuk tujuan ortodontik maka sebaiknya meminta pendapat dari ahli ortodontik pasien tersebut lebih dulu. Pencabutan gigi yang salah, khususnya jika gigi tersebut adalah gigi yang sehat, sebaiknya segera ditempatkan kembali ke soketnya. Jika telah goyang maka harus ditempatkan pada tempatnya dengan menggunakan splint bentuk vakum buatan yang sesuai selama kira-kira 4 minggu (14). Hal ini tampaknya akan membutuhkan pengisian saluran akar setelahnya, dan jika terdapat keraguan akan prognosisnya maka sebaiknya mencari saran dari konsultan dokter gigi restoratif.
Gigi Patah dan Kerusakan Gigi dan Restorasi
Gigi yang bersebelahan dengan gigi indeks bisa patah, kendur dari soketnya, goyang atau bahkan tercabut akibat aplikasi dan penggunaan elevator yang salah. Hal ini utamanya terjadi jika gigi yang bersebelahan digunakan sebagai fulcrum dari elevator bukannya tulang inter radikuler dan elevator digunakan sebagai pengungkit gigi sebelahnya. Fraktur akar distal gigi molar kedua rahang atas selama elevasi dari gigi molar ketiga rahang atas yang impaksi dapat terjadi setelah penggunaan tenaga yang berlebihan sebagai akibat dari pengangkatan tulang yang tidak adekuat.
Kerusakan akar dari gigi sebelahnya dapat terjadi selama dilakukan pengangkatan tulang untuk apikoektomi dan pencabutan dengan bedah. Inspeksi yang teliti pada radiograf pra operasi dan mencatat as panjang gigi yang akan dioperasi adalah penting jika hanya tulang dibawah gigi tersebut yang akan diangkat. Perhatian khusus harus diberikan pada apikoektomi gigi yang sebelumnya telah dipasangi mahkota. Bukanlah hal yang jarang, as memanjang mahkota crown tersebut akan divergen dengan as memanjang akar. Jika hal ini tidak diperhatikan pada pra operatif, maka pengambilan tulang yang meluas pada daerah yang jauh dari apeks akar indeks dapat terjadi dan terjadi apikoektomi akar gigi yang salah. Apeks akar dapat menjadi dekat, khususnya daerah insisivus rahang atas dan bawah. Perhatian yang teliti harus diberikan pada orientasi mahkota/akar ketika melakukan apikoektomi pada gigi ini untuk menghindari terjadinya kerusakan kolateral. Seringkali dapat terjadi perforasi sinus plat bukal yang berfungsi sebagai pedoman pada sisi apeks akar dibawahnya.
Gigi dan restorasi yang berlawanan dapat rusak jika diaplikasikan kekuatan berlebihan pada gigi dengan menggunakan tang atau elevator dan gigi yang dihasilkan oleh kontak instrumen pada gigi di rahang yang berlawanan. Bukan hal yang jarang, daerah distal dari suatu restorasi atau bingkai yang overhanging diatas suatu inlay atau crown pada molar kedua rahang bawah akan keluar jika gigi molar ketiga bawah yang bersebelahan tersebut dielevasi melawannya. Jika memungkinkan, restorasi sebaiknya diselesaikan oleh ahli bedah gigi pasien sebelum pengangkatan gigi molar ketiga. Jika restorasi terlepas maka penting untuk membersihkan semua debris dari soket gigi yang telah dicabut dan gigi dilapisi dengan restorasi sementara hingga gigi tersebut dapat direstorasi secara permanen.
Fraktur gigi atau akar selama pencabutan gigi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada bedah mulut minor (13,14). Teknik ekstraksi yang buruk, khususnya penggunaan tang ekstraksi yang salah, aplikasi tang yang terlalu dekat dengan amelocemental junction dan terlalu jauh dengan apeks akar dan kesalahan penggunaan elevator tidak diragukan lagi adalah penyebab utama fraktur gigi/akar selama pencabutan gigi. Komplikasi tersebut proporsionalnya berbanding terbalik dengan pengalaman operator. Tentu saja, komplikasi dari semua jenisnya yang menyertai bedah pengangkatan gigi molar ketiga yang impaksi telah dilaporkan secara signifikan lebih tinggi jika dilakukan oleh ahli bedah yang kurang berpengalaman (15). Jika kemudian ada kasus yang sulit untuk dikerjakan maka disarankan agar operasi bedah mulut dapat berjalan dengan baik maka sebaiknya dilakukan oleh klinisi paling senior yang ada untuk mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan dan menerima perawatan rumah sakit yang tidak direncanakan. Pencabutan gigi sederhana yang melibatkan tang dan elevator bergantung pada kemampuan gigi indeks untuk melebarkan dinding soket gigi yang bertulang untuk memudahkan pergerakannya. Jika tulang alveolar sangat padat untuk terjadinya perluasan yang memadai atau akar gigi terlalu rapuh maka dapat diyakini akan terjadi kegagalan/kerusakan tulang. Pada beberapa kasus, usia, jenis kelamin, ras, dan fisik pasien dapat diwaspadai oleh ahli bedah akan kemungkinan terjadinya kesulitan dalam pencabutan gigi meskipun pada komunitas pasien berusia dewasa bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya komplikasi yang menyertai pencabutan gigi yang sederhana (16). Pasien dengan riwayat pencabutan gigi yang sulit sering kali memiliki gigi non vital atau rapuh yang dikelilingi oleh tulang yang padat. Gigi “gelas dalam beton” ini lebih baik dikerjakan dengan menggunakan pendekatan transalveolar elektif. Meskipun kemudian ahli bedah dapat menggunakan bur untuk memotong setiap potongan akhir dari akar gigi sehubungan dengan akan terulangnya kembali fraktur jika menggunakan elevator. Jika gambaran radiograf pra operatif tidak ada, ahli bedah akan kurang berhati-hati dengan adanya akar yang bengkok, divergen, dilaserasi, hipersementosis atau menyatu. Usaha mencabut beberapa gigi dengan menggunakan tang sederhana pada beberapa gigi akan mengakibatkan kegagalan untuk melengkapi prosedur atau kerusakan kolateral yang parah. Jika kondisi gigi ini didiagnosa pada gambaran radiograf pra operasi, ahli bedah akan diingatkan pada masalah tersebut dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah komplikasi. Hal ini akan melibatkan pemilihan gigi yang akan diangkat dengan menggunakan pendekatan transalveolar dan diikuti dengan pengangkatan tulang bukal.
Sebagaimana aturan umumnya, seluruh fraktur akar harus diangkat secepatnya setelah hal itu terjadi. Hal ini penting untuk disadari bahwa pada beberapa keadaan, pengangkatan akar dapat menjadi lebih berbahaya , utamanya jika akar tersebut dekat dengan struktur lain seperti saluran neurovaskular, sinus maksilaris, dan plat lingual mandibula. Apeks yang kecil, khususnya jika dihubungkan dengan akar yang sebelumnya vital dan tidak terinfeksi dapat dipertahankan dengan aman (17). Nasehat dari seorang dokter Arab yaitu Ibnu Sina (980-1037) “perawatan penyakit harusnya tidak pernah menjadi lebih buruk dibandingkan penyakit itu sendiri” adalah sesuai dengan hal ini. Jika dipilih untuk meninggalkan akar in situ, pasien harus diinformasikan dan alasan mengapa keputusan tersebut diambil dicatat pada catatan kasus pasien.
Gigi yang Berpindah Tempat
Disamping gigi yang dapat dikeluarkan dari soketnya dengan aman dari mulut, dapat pula terjadi gigi berpotensi untuk berpindah tempat ke salah satu dari beberapa daerah yang berbahaya seperti:
Sinus maksilaris
Ruang jaringan
Saluran gigi inferior
Saluran pernafasan dan pencernaan
Sinus Maksilaris
Apeks dari premolar dan molar rahang atas secara normal berdekatan dengan sinus maksilaris. Tekanan keatas yang tidak terkontrol dari tang pencabut atau elevator dapat mendorong gigi masuk ke dalam sinus. Ini khususnya lebih mudah terjadi pada premolar berakar tunggal yang berbentuk konus dan akar palatal dari gigi molar, khususnya jika elevator Coupland dipaksa diinsersikan pada ligament periodontal. Jika gigi berpindah tempat ke sinus maka harus dikeluarkan secepatnya. Jika gigi tidak dapat terlihat maka kemudian diambil gambaran radiograf 2 plane dengan sudut 900 untuk menentukan lokasinya. Jalur transalveolar digunakan kemudian dan gigi/akar dikeluarkan ke mulut dengan menggunakan tekanan langsung secara inferior dari elevator yang cocok. Jika terjadi penundaan maka pasien harus diresepkan antibiotik spektrum luas untuk meminimalkan risiko infeksi yang selanjutnya dapat mengganggu perbaikan mukosa.
Ruang Jaringan
Hal ini biasanya terjadi pada gigi molar ketiga yang menjadi korban perpindahan ke ruang jaringan disebelahnya. Gigi molar ketiga rahang atas utamanya berisiko mengalami komplikasi ini tetapi tidak ada gigi yang kebal dari hal ini. Kebanyakan gigi molar ketiga rahang atas mempunyai jalan alami untuk menarik kembali yang menjadikannya lebih posterior atau inferior. Ketika gigi erupsi ini biasanya akan dipastikan aman tumbuh di dalam mulut. Bagaimanapun, jika gigi tidak erupsi dan suatu flap mukoperiosteal bukal telah diangkat, gigi dapat meluncur kebelakang tuberositas maksilaris dan ke pterigomaksillary space yang mana ini dapat bermigrasi ke struktur leher yang dalam. Untuk mencegah terjadinya situasi yang dapat mencelakai ini, maka sangat penting untuk menempatkan instrumen selalu dibelakang gigi molar ketiga atas yang dijaga agar tetap dalam penglihatan secara langsung sepanjang waktu selama pencabutan gigi. Retraktor Laster, yang diinsersikan di sekeliling belakang tuberositas dapat dibantah, insrumen yang paling berguna dalam keadaan ini tidak hanya secara fisik mencegah molar ketiga atas berpindah ke posterior tetapi juga menciptakan panduan refleksi cahaya untuk elevator yang dapat memperbaiki penglihatan dan menjaga jaringan lunak dari bibir dan komisura yang seringkali terluka selama melakukan tindakan ini.
Gigi rahang bawah kurang mudah mengalami perpindahan tempat dibandingkan gigi atas tetapi juga dapat terkena. Molar ketiga bawah terletak lebih ke lingual dan akar-akarnya adakalanya terdorong melewati plat lingual yang tipis atau bahkan tidak ada sama sekali masuk kedalam lantai mulut atau dibawah mylohiod yang mana dapat bermigrasi ke daerah leher. Serupa dengan itu, premolar bawah yang terletak lebih ke lingual, khususnya jika tidak erupsi dapat berpindah tempat ke jaringan lidah. Situasi terakhir ini sulit terjadi jika gigi ini “diketuk secara lingual” dengan menggunakan mallet dan elevator. Kadang kala, tekanan jari keatas secara langsung dibawah mandibula akan membawa gigi atau akar yang berpindah tempat tersebut hingga dapat dilihat dan mempermudah pengeluarannya. Sebagaimana perpindahan pada gigi-gigi atas, hal ini penting bahwa posisi dari gigi atau akar yang tersesat tersebut dapat terlihat melalui radiograf sebelum mencoba untuk melakukan ekstirpasi, setidaknya hal ini dapat lebih mudah dan dapat dilihat secara langsung segera setelah perpindahannya karena dikhawatirkan dapat memperburuk keadaan. Radiograf 2 plane dengan sudut 90o sebaiknya diambil dan radiograf oklusal bawah dan OPT dapat menjadi radiograf pilihan. Jika situasi tidak dapat diperbaiki segera, maka pasien harus diberikan antibiotik dan dikirim ke konsultan ahli bedah oromaksilofasial untuk penanganan dan pengobatan yang mendesak. Hal ini dapat menjadi mungkin untuk mengangkat gigi atau akar dengan menggunakan pendekatan transalveolar standar, tetapi lebih sering jalur lantai mulut atau bahkan ekstra oral akan diperlukan bergantung pada keadaannya.
Saluran Gigi Inferior
Jika akar gigi molar mengalami fraktur selama elevasi dan keputusan yang diambil untuk melakukan pengangkatan adalah penting untuk dikeluarkan dari soket dibandingkan terjadinya perpindahan lebih dalam akibat penggunaan dan aplikasi elevator yang tidak tepat. Penggunaan elevator Cryer yang terlalu sering khususnya untuk mencungkil keluar pada atap saluran dental inferior (inferior dental/ID) yang mana dapat mendorong akar gigi ke dalamnya. Sebagaimana dalam semua keadaan, paparan dan penerangan yang adekuat agar supaya dapat memberikan akses bedah yang baik merupakan suatu syarat mutlak. Suatu round bur yang bagus sebaiknya digunakan untuk memindahkan saluran tulang yang bersebelahan untuk menahan akar yang cukup untuk dapat diangkat keluar dari soket. Jika sebuah pecahan akar berpindah dan tidak dapat terlihat secara langsung, maka harus dilakukan pengambilan gambaran radiografi 2 plane. Radiograf oklusal bawah dan OPT dapat menjadi radiograf pilihan. Sekali pengangkatan lokal dilakukan pada atap saluran ID, maka harus ditangani hingga pecahan yang tersisa tersebut ditemukan. Sesudah itu, instrumen yang tumpul seperti elevator Warwick James yang dibengkokkan dapat menyentuh dibawah pecahan yang kemudian dengan hati-hati diangkat keluar dari berkas neurovaskular.
Saluran Pernafasan dan Pencernaan
Merupakan hal yang mudah bagi gigi yang telah dicabut atau pecahan gigi yang goyang untuk tertelan atau lebih buruk lagi jika terhirup kedalam saluran pernafasan. Gigi dengan akar tunggal berbentuk konus kadangkala keluar dari soketnya tanpa diduga selama pencabutan gigi dan pasien kadang akan bergerak secara kasar sehingga menyebabkan gigi terdorong (terutama jika pasien tersebut tegang dan analgesiknya tidak adekuat). Pada keadaan ini gigi dapat sembunyi didasar lidah kemudian masuk ke faring yang mana refleks muntah dari pasien turut memperparah masalah ini. Komplikasi ini lebih sering terjadi jika pasien dibedah dengan posisi supinasi dan tanpa proteksi jalan nafas yang adekuat. Dimanapun prosedur pencabutan dan pembedahan mungkin dilakukan dibawah anastesi lokal dengan atau tanpa sedasi di atas kursi dental harus dilakukan dengan menempatkan pasien pada sudut 60° secara horizontal. Setiap pecahan restorasi atau gigi harus secepatnya dikeluarkan oleh ahli bedah atau asistennya. Pasien yang ditangani dibawah anastesi umum jika jalan nafas tidak dilindungi dengan endotracheal tube atau masker laring dan semacamnya, pasien sebaiknya ditempatkan dengan posisi 60° dan ditempatkan suatu pek faring yang terpasang dengan baik untuk melindungi jalan nafas. Dalam kebanyakan keadaan ini akan terdiri dari pengeluaran swab bedah atau spons yang ditempatkan melintang dibelakang lidah untuk menutup orofaring. Meskipun jika telah ditempatkan suatu endotracheal tube, jalan nafas tetap berisiko dan faring sebaiknya ditutup dengan menggunakan pek tenggorokan. Beberapa ahli anastesi menempatkan kasa pita untuk tujuan ini dimana meskipun adekuat untuk tujuan ini dapat mengiritasi/mengelupas lapisan mukosa faring yang bagus baik pada saat insersi maupun pelepasannya menambah rasa tidak nyaman pasca operasi. Sebaliknya 2 tampon yang dipasang pada salah satu dari 2 sisi dari endotracheal tube akan memastikan penutupan faring yang sempurna tanpa memberikan trauma pada mukosa. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini menjadi tanggung jawab dari ahli bedah untuk meyakinkan bahwa seluruh pek tenggorokan telah dilepaskan setelah perawatan selesai.
Jika gigi goyang kedalam faring yang tidak terlindungi dengan keberuntangan pasien akan menelannya dan akan keluar secara alami dalam waktu beberapa hari. Bagaimanapun, gigi ini dapat juga terisap, dan dalam hubungannya dengan masalah dimana batang tenggorokan pada carina tidak jarang menjadi goyang di bronkus utama kanan. Keadaan ini biasanya akan disambut dengan batuk yang keras tetapi bisa juga tidak. Jika keadaan seperti ini terjadi atau gigi tidak dapat dengan segera dimasukkan kedalam dada yang mendesak dan sinar X abdominal sebaiknya diminta. Jika pasien dirawat diluar lingkungan rumah sakit, pasien tersebut harus segera dirujuk via telefon ke unit kecelakaan dan kegawatdaruratan oromaksilofasial terdekat. Jika gigi terlihat pada paru-paru pasien maka sebaiknya pasien dikirim ke ahli bedah kardiotoraks atau dokter respiratori untuk bronkoskopi. Jika gigi terlihat didalam perut pasien diyakinkan kembali bahwa semua akan baik-baik saja dan dipanggil kembali untuk pengulangan radiografi sinar-x abdominal dalam waktu satu minggu. Jika gigi gagal untuk keluar secara alami, maka wacana bedah umum dapat dilakukan secepat mungkin.
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI DALAM BEDAH MULUT MINOR
(BAGIAN II)
Stephen F. Worral
Fraktur dan Dislokasi
Soket Pencabutan dan Kavitas Akses
Fraktur minor yang ringan pada soket gigi dan tulang interradikuler sering terjadi selama pencabutan gigi. Asalkan setiap keping tulang dikeluarkan dari luka akan meminimalkan kerusakan yang terjadi. Sangat penting untuk memastikan bahwa tepi soket telah dihaluskan dan tidak ada spekulum tajam yang tersisa. Ridge alveolar yang tidak seimbang dan tajam merupakan sumber utama ketidaknyamanan pasca operasi dan menjadi keluhan pasien akibat ketidakmampuan pasien menggunakan gigi palsu dengan nyaman. Satu teknik yang paling sering diprotes oleh pasien adalah penempatan beak tang ekstraksi diluar soket gigi dan kemudian penghancuran tulang yang terbuka dalam rangka mendorong terjadinya pecahan akar yang fraktur dan tersisa. Hal ini menyebabkan kerusakan yang berlebihan pada tulang dan sering merusak mukosa diatasnya. Jika potongan besar tulang alveolar yang tidak vital lagi atau serpihan tulang dari instrumen yang berputar hampir dipastikan meninggalkan nyeri pasca operasi dan infeksi. Semua jenis bedah transalveolar sangat penting untuk diikuti dengan irigasi 0,9% larutan salin. Kita perlu memberi perhatian khusus pada kedalaman dari flap mukoperiosteal bukal dan aspek lingual dari soket gigi molar ketiga rahang bawah jika flap lingual telah dielevasi.
Alveolus
Faktor yang sama yang turut membantu dalam fraktur gigi juga mempengaruhi fraktur alveolar, teknik pencabutan yang buruk, gigi malformasi dan tulang alveolar yang padat. Gigi kaninus dan molar rahang atas, khususnya pada pria dengan pertumbuhan yang baik lebih sering terjadi fraktur alveolar. Meskipun jarang terjadi, tetapi potongan yang besar dari tulang bukal atau palatal dapat mengalami avulsi dari gigi yang terkena. Dan lagi, banyak kasus dapat dicegah melalui pemeriksaan klinis dan sinar-x pra operatif dan pencegahan tang ekstraksi pada pasien dan gigi yang berisiko tinggi.
Fraktur tuberositas maksilaris merupakan subkelompok khusus fraktur alveolar. Fraktur tuberositas lebih sering terjadi jika menggunakan elevator untuk mencabut gigi molar ketiga rahang atas yang erupsi sempurna. Dalam kasus yang terakhir, kehilangan gigi tetangga seringkali menghasilkan kehilangan tulang alveolar yang melewati lantai sinus maksilaris ke crest alveolar. Jika gambaran radiograf pra operatif memperlihatkan fraktur tuberositas, maka sebaiknya memilih penggunaan pendekatan transalveolar.
Jika terjadi fraktur alveolar, penanganan yang cepat akan berpengaruh pada perluasan dari fraktur tersebut. Pecahan avulsi yang kecil yang dibatasi secara efektif terhadap soket gigi yang diekstraksi tidak membutuhkan perawatan khusus meskipun alveolar pasca operasi yang terbentuk tidak ideal dan dapat membahayakan rehabilitasi prostetik dimasa akan datang. Potongan yang lebih besar yang masih terdapat pada mukoperiostium sebaiknya dikeluarkan dan segmen diimobilisasi dengan menggunakan arch bar atau splint berbentuk vakum selama kira-kira 4 minggu. Diikuti dengan pencabutan gigi yang terkena dengan menggunakan pendekatan transalveolar pilihan. Jika segmen alveolar yang penting mengalami avulsi dan dilepaskan dari mukoperiosteum tampaknya tidak akan bertahan jika ditempatkan kembali. Fraktur tuberositas maksilaris seringkali dimasukkan ke dalam kategori ini. Tulang yang avulsi sebaiknya dilepaskan dengan hati-hati dari jaringan lunak yang tersisa dengan menggunakan elevator periosteal. Hubungan oro-antral yang besar hampir tidak dapat diacuhkan pada keadaan ini. Bagaimanapun, pada saat terjadi kehilangan tulang biasanya terdapat jaringan lunak yang memadai untuk terjadinya penutupan tanpa tekanan. Jahitan sebaiknya dilepaskan paling kurang 10 hari dan pasien diresepkan antibiotik spektrum luas bersama dengan tetes hidung efedrin 0,5% dan dilarang untuk menepuk hidungnya selama 2 minggu karena kekhawatiran akan rusaknya penutupan jaringan lunak. Semua ahli bedah yang melakukan pencabutan gigi harus mampu menangani komplikasi ini dan dapat segera menjelaskan masalah yang terjadi pada pasien.
Fraktur Mandibula
Hal ini merupakan komplikasi yang paling ditakuti dari semua komplikasi yang menyertai bedah mulut minor dan seperti kebanyakan dari komplikasi tersebut, hal ini sebenarnya dapat dicegah. Inspeksi yang teliti pada gambaran radiograf pra operatif akan memperlihatkan kesukaran pencabutan gigi dan membantu pembentukan rencana perawatan untuk mengatasi masalah tersebut. Pengangkatan tulang dan pembelahan gigi yang bijaksana diikuti oleh elevasi yang terkontrol akan berhasil hampir dalam semua kasus. Sangat jarang gigi diangkat dalam keadaan dimana tulang sangat tipis karena kehilangan patologis atau perubahan yang dipengaruhi oleh usia. Bahkan dalam keadaan ini, fraktur bukannya tidak dapat dielakkan meskipun hal itu dapat diaplikasikan secara hati-hati dengan fiksasi secara langsung baik internal atau eksternal untuk mendukung daerah pada awal periode pasca operatif. Pasien disarankan agar mengkonsumsi diet makanan yang lunak selama beberapa minggu dan segera kembali jika dikhawatirkan terjadi abnormalitas pada rahang. Pasien ini sebaiknya dirawat dalam lingkungan rumah sakit dengan akses akan peralatan yang memadai jika terjadi fraktur. Jika mandibula fraktur secara tidak terduga dan pasien berada dibawah anastesi umum, ahli bedah segera mungkin melakukan fixing pada fraktur dan menjelaskan secara lengkap keadaan tersebut kepada pasien setelah operasi. Jika fraktur terjadi dalam kondisi anastesi lokal dan berada diluar lingkungan rumah sakit, pasien harus segera dirujuk via telepon ke unit bedah oromaksilofasial setempat untuk penanganan dan perawatan yang mendesak.
Dislokasi Temporomandibular Joint
Hal ini dapat menjadi sangat tidak nyaman bagi pasien dengan pencabutan gigi molar ketiga bawah yang impaksi bukan karena nyeri pada sisi yang dibedah tetapi karena penarikan pada temporomandibular joint (TMJ) sebagai akibat penekanan pada gigi dengan tang ekstraksi. Sangat penting agar ahli bedah mendukung dengan penuh mandibula selama pencabutan gigi untuk mengurangi tekanan pada TMJ. Beberapa pasien meskipun dengan tekanan yang ringan tetap merasa tidak nyaman dan dalam keadaan ini biasanya ditempatkan suatu rubber bite prop diantara gigi posterior kontralateral dan meminta pasien untuk menggigit dengan gigitan ringan sehingga dapat memungkinkan dilakukannya pencabutan sampai tuntas. Jika pencabutan dilakukan dibawah anastesi umum seringkali melupakan masalah TMJ ini. Setelah perawatan selesai segera pindahkan pek pada kerongkongan dan ahli bedah sebaikya menempatkan mandibula ke oklusi sentrik untuk memastikan bahwa tidak terjadi dislokasi. Jika kemudian terjadi dislokasi, maka harus diperbaiki sebelum hilangnya anastesi dan pasien terbangun.
Kerusakan Jaringan Lunak
Trauma Mekanik
Suplai darah yang banyak pada daerah kepala dan leher biasanya akan mempercepat penyembuhan kecuali pada kerusakan jaringan yang banyak. Walaupun demikian, hal ini tidak bisa dinyatakan terlalu sering bahwa kunci untuk meminimalkan komplikasi adalah perencanaan pra operatif dan teknik bedah yang teliti. Khususnya, penanganan yang lembut dan berhati-hati dalam menangani jaringan lunak merupakan sesuatu yang wajib. Hal ini utamanya penting ketika membuat insisi pilihan pada bagian wajah. Dimanapun insisi yang memungkinkan harus ditempatkan pada garis pilihan yaitu pada sudut kanan ke arah dasar otot ekspresi wajah (18). Penanganan yang hati-hati terhadap jaringan lunak, khususnya mencegah kehancuran dan sobekan dari tepi luka dan merekatkan lapisan kulit tanpa tekanan merupakan keberhasilan yang penting (“cukup rekat hari ini-sangat rekat diesok hari”). Pasien yang sebelumnya memiliki riwayat pembentukan scar keloid atau hipertropik sebaiknya ditangani oleh ahli bedah dengan keahlian yang pantas dipertimbangkan dalam bedah jaringan lunak wajah.
Satu diantara sisi yang paling mengganggu pada disekitar luka pasca opersi adalah pasien yang tidak menyukai dan bengkak pada bibir dan komisura akibat retraksi jaringan yang kurang hati-hati. Komplikasi ini tampaknya lebih sering terjadi dibawah anastesi umum dibandingkan anastesi lokal, merupakan suatu sikap pada peristiwa yang tidak disengaja yang tidak dapat diterima pada bagian dari ahli bedah terhadap perhatiannya kepada pasien. Vaselin dalam jumlah yang banyak atau krim pelembab sebaiknya diaplikasikan pada bibir untuk melumasinya sebelum operasi dan diulang pada saat prosedur sedang berlangsung. Instrumen polis yang tinggi sebaiknya digunakan dan komisura dilindungi dengan kain kasa dan cheek retraktor (gambar 10). Skenario yang paling umum yang dapat menyebabkan kerusakan pada bibir dan komisura adalah ketika bibir dan komisura tersebut terjebak diantara elevator periosteal Howart yang digunakan sebagai retraktor flap dan leher dari elevator digunakan untuk mencabut gigi molar ketiga atas, khususnya jika pencabutan tersebut sulit akibat daya pandang dan akses pembedahan yang jelek. Semuanya menjadi sangat mudah untuk mengeluarkan gigi dengan pencabutan dan mengabaikan jaringan lunak. Retraktor flap Laster memberikan proteksi yang tidak tidak ada bandingannya pada keadaan ini dan sangat direkomendasikan. Robeknya jaringan lunak dapat disebabkan oleh cara memegang skalpel, elevator, gunting tang dan jahitan yang kurang hati-hati. Faktanya, setiap instrumen bedah dapat menyebabkan kerusakan yang menyertainya jika ahli bedah tersebut kehilangan konsentrasi. Perlindungan mata harus selalu digunakan pada saat menangani pasien pada posisi supinasi. Pada kedaan ini tepat untuk menyalahkan praktek dari operator yang menggunakan satu tangan, dalam halnya untuk memudahkan akses ke rongga mulut menggunakan satu ujung dari cheek retraktor pada komisura pasien dan ujung lainnya disambungkan dengan ikatan pada gaun bedah. Hal ini merupakan teknik yang sangat berbahaya yang dapat dengan mudah menyebabkan kerusakan yang parah pada jaringan lunak pasien jika operator bergerak mundur. Hal ini merupakan suatu kejadian yang tidak jarang.
Trauma Termal
Semua instrumen yang disterilkan dengan autoklaf, harus dipastikan bahwa instrumen tersebut telah dingin sebelum berkontak dengan pasien. Handpiece bedah yang tidak diservis secara rutin dan dirawat dengan baik cenderung untuk mengalami kegagalan yang nyata. Hal ini akan menyebabkan handpiece menjadi terlalu panas meskipun dalam pemakaian yang normal. Terutama jika menggunakan bur lama untuk penghematan dan tekanan yang berlebih pada saat pengaplikasian bur yang tumpul karena daya potong yang tidak memadai. Handpiece yang panas kemudian berkontak dengan jaringan lunak pasien menyebabkan luka bakar yang dalam. Hal ini merupakan musibah yang tidak dapat dipertahankan dan dapat menghasilkan kosmetik yang mengerikan. Jika handpiece bedah menjadi panas maka sebaiknya segera dibuang dan dikirim untuk diperbaiki atau diapkir. Suatu catatan akan efek yang harus dicatat pada pembukuan peralatan ruang bedah dan ahli bedah sebaiknya menolak untuk menggunakannya. Jika penggantian instrumen tidak dapat dilakukan dan tidak ada jalan aman yang lain maka sebaiknya prosedur diabaikan dahulu dan pasien diinformasikan tentang alasan mengapa hal tersebut dilakukan. Jika ahli bedah melukai pasien dengan suatu instrumen yang diketahui dapat menimbulkan kecacatan kemudian ahli bedah tersebut akan menyalahkan dirinya sendiri ketika dituntut akibat kealpaannya.
Kewaspadaan yang buruk pada saat menggunakan kauter elektrik atau laser merupakan penyebab yang tidak bisa dipertahankan lainnya dari kerusakan disekitar jaringan lunak. Ketika instrumen ini digunakan, retraktor yang tidak terkontrol dan tidak reflektif sebaiknya digunakan dan pada kasus penggunaan laser, sekeliling daerah harus dilindungi dengan kain basah. Perhatian yang besar harus diberikan pada saat menggunakan kauter monopolar untuk membekukan pembuluh darah via bagian tang jaringan yang tidak terpisah dalam kasus dimana instrumen ini berkontak dengan jaringan lunak disekitarnya.
Saraf
Cabang terminal dari nervus trigeminus dan facial merupakan salah satu dari yang paling berisiko terjadinya kecelakaan yang dapat menimbulkan kecacatan selama prosedur bedah mulut minor. Nervus dental inferior berisiko rusak selama pengangkatan gigi molar ketiga bawah, selama apikoektomi gigi premolar dan molar bawah, penempatan implan intraoral dan bedah jaringan lunak disekitar foramen mentalis, khususnya pada pasien yang lebih tua dimana nervus mentalis dapat terletak atau dekat pada crest alveolar. Nervus lingualis berisiko selama bedah pengangkatan gigi molar ketiga bawah, penempatan implan intraoral dan insisi dasar mulut untuk pengangkatan kalkulus duktus submandibular dan biopsy, dll. Kedua nervus dapat rusak oleh tusukan nervus secara langsung akibat kurang hati-hati pada saat melakukan blok nervus alveolaris inferior. Komplikasi yang jarang ditemukan adalah kerusakan pada nervus infraorbital, bukalis, dan insisivus. Telah dibuat penjelasan tentang risiko nervus fasialis dari insisi kulit wajah dll.
Insiden kerusakan sementara nervus alveolaris inferior yang menyertai pencabutan molar ketiga rahang bawah bervariasi antara 1,3%(19) hingga 7,8%(20). Antara 0,5% hingga 1% dari keseluruhan pencabutan gigi molar ketiga bawah menghasilkan kerusakan permanen pada nervus alveolaris inferior (21). Setelah pencabutan gigi molar ketiga bawah, insiden gangguan permanen sensori nervus lingualis yang memerlukan perbaikan yaitu antara 0,3% hingga 0,8% (22). Dampak kesehatan, sosial, dan keuangan terhadap pasien terhadap lanjutan tindakan pasca operasi ini dan yang lainnya bisaanya diremehkan oleh para klinisi (23). Oleh karena itulah maka sangat penting untuk menjelaskan secara lengkap kepada pasien akan kemungkinan komplikasi ini sebelum operasi dilakukan. Beberapa pasien ketika dijelaskan mengenai hal ini akan mundur dari persetujuan mereka untuk menjalani pembedahan.
Kerusakan yang potensial terhadap nervus dental inferior selama pencabutan gigi molar ketiga pada banyak kasus dapat diantisipasi dengan pemeriksaan yang teliti pada gambaran radiograf kualitas tinggi praoperatif pada daerah tersebut. Kehilangan ketajaman atau perubahan yang akut pada arah saluran neurovaskular segera di sekitar akar gigi molar ketiga bawah merupakan kecurigaan yang tinggi terhadap takikan akar atau perforasi oleh berkas neurovaskular (gambar 11). Pada keadaan ini, kecuali jika gigi tersebut tidak memberikan gejala atau ada suatu alasan yang bagus akan pengecualiannya untuk pengangkatannya, maka hal ini sebaiknya dibiarkan in situ. Jika terdapat indikasi pengangkatan, kemudian pendekatan transalveolar dengan akses yang luas ke lapangan bedah dan harus dilakukan pemotongan akar. Dengan penanganan yang hati-hati, akar dapat dipisahkan sehingga bebas untuk melepaskan berkas neurovaskular.
Pencungkilan secara paksa pada impaksi yang dalam dari gigi molar ketiga bawah, khususnya orang dengan akar mesial yang panjang merupakan sesuatu yang jarang dilakukan dan dapat menyebabkan kerusakan isi dari saluran neurovaskular. Hal ini merupakan tanda dari perencanaan bedah yang tergesa-gesa dan jelek. Jauh lebih baik dan lebih aman untuk memotong mesioangular dalam gigi impaksi horizontal dan vertikal dan mengangkat mahkota dan akar tunggal secara terpisah.
Parastesi labial sementara yang menyertai apikoektomi premolar/molar bawah umumnya sebagi hasil dari penarikan nervus mentalis, tetapi kerusakan permanen dapat dan seharusnya dihindari. Flap mukoperiosteal 3 sisi yang luas harus dielevasi secara hati-hati dari tulang untuk memperoleh akses bedah yang bagus. Insisi semilunar sebaiknya tidak digunakan pada daerah ini. Foramen mentalis dan nervus mentalis yang timbul harus selalu diidentifikasi dan dilindungi dengan retraktor flap tumpul yang telah dihaluskan. Tulang di atas apeks gigi yang akan diapikoektomi diangkat secara hati-hati dan tetap dibawah penglihatan langsung. Dalam kasus molar bawah maka paling aman untuk membelah akar dekat dari titik tengah dibandingkan pada sepertiga apeks, hal ini akan menjauhkan bur dari saluran neurovaskular dan juga juga selanjutnya membuat penempatan amalgam menjadi lebih mudah.
Nervus lingualis tidak jarang terletak superficial pada crest alveolar di segitiga retromolar. Insisi mukosa yang tidak hati-hati pada daerah ini dapat dengan mudah memperparah nervus sebelum flap disingkap atau tulang diangkat. Insisi distal harus selalu disudutkan kelateral untuk menjauhkannya dari aspek lingual ramus. Pembelajaran standar dari insisi ini adalah bahwa insisi ini harus dijaga sependek mungkin dalam rangka mencegah keparahan nervus bukal yang menyilang permukaan anterior ramus mandibula pada daerah ini (24). Demikian juga, pencegahan dari insisi pembebasan bukal dengan menggunakan flap envelope akan meminimalkan kerusakan akibat kecelakaan pada nervus bukalis dalam sulkus ketika ingin mendapatkan akses bedah yang baik.
Jalur nervus lingualis bisa sangat bervariasi dan dalam 17,6% dari kasus tersebut dapat terletak pada atau di atas level crest alveolar (25). Insisi pada lantai dasar mulut harus selalu ditempatkan dengan memperhatikan arah dan level dari nervus lingualis. Khususnya, dochotomy duktus submandibula untuk pelepasan kalkulus harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena kadang-kadang fibrosis disekitar striktur akan tertarik kedasar nervus lingualis yang merupakan risiko dari insisi pada duktus. Serupa dengan hal itu, jahitan ditempatkan disekitar duktus untuk menghindari migrasi ke distal dari kalkulus dapat dengan mudah merusak nervus lingualis jika ditempatkan pada dasar mulut yang dalam.
Perdebatan mengenai bagaimana melindungi nervus lingualis dari kerusakan selama pencabutan gigi molar ketiga bawah telah terjadi selama berapa tahun terakhir ini. Terdapat bukti yang bagus yang memperlihatkan bahwa dibandingkan usaha untuk melindungi nervus dan mengurangi kerusakan pada nervus lingualis, penempatan periosteal elevator Howarth tradisional sebenarnya meningkatkan frekuensi trauma pada saraf. Robinson dkk (22) telah memperlihatkan suatu penurunan yang sangat bermakna dalam insiden parastesi lingual sementara jika gigi molar ketiga rahang bawah tersebut dicabut tanpa menggunakan elevator Howarth dibawah sisi lingual mandibula dibandingkan ketika menggunakan elevator Howarth. Teknik ini tidak berhubungan dengan peningkatan insiden masalah permanen nervus lingual. Tidak diragukan lagi bahwa jika retraksi flap lingual diikuti dengan penempatan instrumen yang hati-hati dan tepat untuk melindungi nervus lingualis dibutuhkan dalam hal visualisasi yang akurat dan aman pada molar ketiga rahang bawah. Bagaimanapun, pencegahan terhadap pelindung nervus lingual secara rutin via elevator Howarth adalah dianjurkan sebisa mungkin.
Implan intraoral, khususnya implan indosseus mandibula yang muncul hingga kini merupakan penyebab lain dari proses pengadilan akibat kerusakan saraf iatrogenik (26). Perencanaan dan penggambaran pra operatif yang buruk disertai keteledoran dalam menempatkan implan indosseus dapat merusak nervus alveolaris inferior juga kanalis mandibula atau setelah itu keluar dari foramen mentalis. Prevalensi perubahan sensasi nervus alveolaris inferior yang menyertai penempatan implan endossesus mandibula telah dilaporkan setinggi 36% dimana 23% dari kasus tersebut adalah bersifat sementara dan 13% dari kasus adalah persisten selama 6 bulan atau lebih pasca pemasangan implan (26). Meskipun tidak lazim, juga telah dilaporkan adanya parastesi nervus lingual yang bersifat sementara, dimana implan endosseous memiliki perforasi ke cortical plate bagian lingual (27). Reposisi nervus alveolaris inferior untuk mempermudah penempatan implan endosseus posterior ke foramen mentalis dihubungkan dengan insiden kerusakan nervus alveolar yang sangat tinggi. Dalam satu rangkaian disfungsi neurosensori alveolaris inferior pada 70% pasien pada 1 pekan sebelum turun menjadi 20% pada 6 bulan dan 0% pada 1 tahun pasca operasi (28). Bagaimanapun, teknik tersebut memungkinkan penempatan implan yang lebih banyak dan lebih lama menghasilkan peningkatan kekuatan prostetik dan stabilitas serta memiliki tingkat distesia permanen yang lebih rendah dibandingkan jika saraf non-transposed yang rusak akibat kecelakaan oleh pengeboran atau penempatan implan (29). Jika beberapa teknik yang digunakan maka penting untuk memberitahukan secara lengkap kepada pasien tentang kemungkinan parastesi nervus alveolaris inferior secara sementara atau permanen.
Pengangkatan flap palatal penuh untuk mendapatkan akses ke kaninus impaksi atau gigi supernumerary dapat merusak nervus insisivus sebagaimana nervus tersebut keluar dari foramen nasopalatinus. Jika memungkinkan, maka serabut neurovaskular nasopalatinus sebaiknya dijaga intak sebagai bagian dari nervus yang menghasilkan parastesi mukosa premaksilari yang tidak nyaman yang mana dapat menghasilkan kecelakaan trauma termal pada mukosa premaksilari dari makanan dan hidangan yang panas.
Nervus infraorbital tidak umum terlibat dalam prosedur khususnya yang dikelompokkan dalam bedah mulut minor. Meskipun demikian, nervus ini dapat rusak oleh retraksi flap bukal yang tidak hati-hati selama apokoektomi kaninus atau insisivus atas. Nervus ini juga berisiko terjadinya kerusakan secara lengsung dari blok anastetik lokal nervus infra orbital. Penanganan jaringan yang hati-hati dan apresiasi yang seksama dari anatomi lokal akan mencegah timbulnya komplikasi ini.
Pembuluh Darah
Perdarahan dari pembuluh darah yang parah merupakan hal yang tidak dapat disepelekan dan jika berlebihan maka sebaiknya dikendalikan dengan penjahitan atau kauter elektrik. Jika perdarahan yang menyusahkan terjadi dari suatu pembuluh infraboni, hal ini biasanya dapat dihentikan dengan menghancurkan dinding tulang disekitarnya dengan ujung hemostat bengkok atau dengan wax tulang steril dalam jumlah yang sedikit. Perdarahan dari plexus pterigoideus bisa mengkhawatirkan tetapi biasanya akan memberikan reaksi terhadap aplikasi tekanan langsung dengan menggunakan kain kasa. Kadangkala perdarahan yang dalam akan ditemui pada arteri alveolaris inferior yang parah. Hal ini dapat terjadi karena perencanaan pra operatif yang tidak adekuat, penggunaan elevator yang tidak tepat dalam soket yang dalam atau pemotongan yang terlalu dekat dengan saluran neurovaskular saat pengangkatan tulang atau pemotongan gigi. Merupakan hal yang penting bahwa suction/penyedotan yang adekuat selalu tersedia jika hal ini terjadi. Soket dibalut dibawah tekanan dengan menggunakan pita kasa yang akan mengontrol keadaan ini. Hal ini dibiarkan selama 15 menit dan kemudian dilepaskan secara perlahan-lahan. Jika semua perdarahan telah berhenti, soket sebaiknya dibiarkan terbuka selama 15 menit sebelum penutupan primer dilakukan dalam kasus dimana terjadi perdarahan ulang segera setelah pengangkatan pek. Jika perdarahan terjadi, soket sebaiknya dibalut dengan menggunakan pita kasa yang dibasahi dengan BIPP (Bismuth Subnitrate Paraform Paste BPC) dan dibiarkan in situ selama 24 jam. Sangat jarang suatu soket gigi dapat terlibat dalam suatu malformasi arteri-venous. Tanda klinis dari kemungkinan ini dapat dihubungkan dengan adanya hemangiomata, tanda perdarahan perioperatif dari sekitar gigi atau pasien dengan sindrom Sturge-Weber. Ahli bedah seharusnya hati-hati, jika tidak gigi bisa menjadi mobile, khususnya jika pada gigi permanen pada anak kecil yang terdorong keluar dari soket akibat malformasi arteri-venous. Pemeriksaan yang cermat pada radiograf pra operatif seharusnya dapat memperingatkan ahli bedah akan adanya abnormalitas lokal yang mungkin terjadi. Beberapa kasus yang mencurigakan sebaiknya segera dikonsultasikan kepada konsultan ahli bedah oromaksilofasial yang dapat mengatur pembuatan CT-scan dan angiogram jika perlu. Jika terjadi perdarahan hebat saat gigi dicabut, gigi sebaiknya ditempatkan kembali ke dalam soket dan pasien diinstruksikan untuk menggigit dengan kuat, hal ini akan menyebabkan penutupan soket yang tepat. Selain itu, sebaiknya digunakan pula pek kasa. Jika pasien tidak berada dalam lingkungan rumah sakit, sebaiknya memanggil ambulans dan segera dibawa ke unit spesialis bedah oromaksilofasial yang terdekat.
Merupakan hal yang diluar lingkup dari bab ini mengenai pembahasan yang lengkap penanganan pasien yang menggunakan obat anti koagulan. Cukup untuk dikatakan bahwa jika seorang pasien INR (International Normalised Ratio) lebih besar dibandingkan bedah mulut minor 2,0 dapat menghasilkan perdarahan yang persisten. Irigasi daerah operasi dengan 10 ml larutan asam traneksamic 4,8% dengan cara berkumur selama 2 menit setiap 8 jam selama 7 hari dengan 10 ml larutan telah menunjukkan efektifitas yang tinggi dalam menurunkan perdarahan pasca operasi pada pasien dengan INR antara 2,1 hingga 4,0 tanpa perubahan terhadap dosis antikoagulannya (30). Bagaimanapun, beberapa pasien sebaiknya dikirim ke konsultan ahli bedah oromaksilofasial untuk perawatan seperti pada beberapa kasus dimana mereka akan membutuhkan perawatan ke rumah sakit dan pencucian hati untuk menghentikan warfarin sebelum dilakukan pembedahan dengan aman. Jika INR kurang dari pencabutan sederhana 2,0 dengan kontrol hemostatik lokal secara penuh, maka hal ini tidak menjadi masalah. Blok nervus alveolaris inferior sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang mengguanakan antikoagulan.
Instrumen yang Patah/Rusak
Instrumen modern dibuat dengan standar yang tinggi dan tidak akan rusak jika digunakan dengan tepat disertai dengan perawatan yang baik. Jarum jahit, jarum hipodermik dan bur bedah merupakan barang yang paling sering rusak dalam penggunaannya. Benang jahit merupakan barang yang paling umum patah selama bedah mulut minor. Penanganan yang tidak hati-hati dan teknik yang salah menjadi penyebab terjadinya kerusakan yang sangat besar ini. Dalam rangka untuk mengurangi tekanan pada saat menekukkan jarum jahit ini, ahli bedah seharusnya selalu memilih jarum dengan gauge yang tepat. Memaksa jarum yang tipis melaui jaringan yang tebal akan menyebabkan fraktur yang tidak dapat terhindarkan. Jarum jahit sebaiknya dipegang pada bagian tengah dari cekungannya dengan ujung dari needle holder dan diputar tanpa mendorong jaringan. Pilihan needle holder tergantung pada pilihan personal tetapi jangan pernah menggunakan instrumen bergerigi tajam seperti tang arteri sebagai needle holder. Jika jarum jahit jadi bengkok maka sebaiknya dibuang, ahli bedah sebaiknya jangan pernah mencoba menajamkan jarum tersebut karena jika tidak segera patah, maka akan patah pada saat diinsersikan kemudian pada jaringan. Jarum jahit khususnya lebih sering rusak saat ditempatkan pada jahitan interdental lebih sering mendorong tulang daripada melewatinya dengan rapi diantara gigi.
Jarum hipodermik disposibel baru sebaiknya digunakan pada masing-masing pasien dan jangan pernah bermaksud untuk dibengkokkan dan digenggam dengan tang untuk digunakan. Jarang terjadi kerusakan tetapi jika hal itu terjadi disebabkan oleh gerakan kasar yang tiba-tiba dari pasien, kesalahan teknik atau kesalahan struktur dari jarum itu sendiri selama blok nervus alveolar superior posterior atau alveolar inferior (4).
Semua bur harus bersih, tajam dan lurus. Penerapan kekuatan yang berlebihan pada bur yang tumpul, penggunaan bur yang menyebabkan panas berlebihan dan menigkatkan risiko fraktur bur. Segera setelah bur terdeteksi rusak maka harus segera dibuang dan diganti dengan yang lain.
Sebagaimana aturan umum, seluruh serpihan instrumen yang patah harus segera diangkat sebelum serpihan tersebut masuk ke bagian jaringan yang lebih dalam. Kapanpun menggunakan injeksi anastesi lokal harus sepasang dengan tang arteri yang telah tersedia dalam kasus dimana jarum dapat menjadi patah. Jika ujung benda yang patah masuk kedalam mulut, hal ini mudah untuk digenggam dengan tang dan disingkirkan dari rongga mulut. Demikian juga dengan jarum jahit dan bur yang patah dapat ditemukan kembali dengan menggunakan tang arteri lurus segera setelah fraktur. Jika patahan tidak dapat terlihat, maka digunakan radiograf 2 plane dengan sudut 900 pada daerah operasi untuk menentukan lokasinya. Pada titik ini akan dibutuhkan pembuatan keputusan apa akan diangkat atau dibiarkan in situ bergantung pada ukuran dan sisi mana yang ditempati. Pecahan kecil yang terletak subperiosteal dapat dibiarkan dengan aman karena tidak akan bermigrasi dan tidak menyebabkan masalah (4). Jika keputusan yang diambil adalah mengangkat pecahan tersebut, maka pendekatan operatifnya bergantung pada dimana lokasinya dan pengetahuan akan anatomi lokal merupakan hal penting untuk mencegah komplikasi dikemudian hari. Harus diingat bahwa benda asing yang kecil dapat menjadi susah untuk dilokalisasi dan penjelajahan buta pada rongga jaringan biasanya malah menjadikan benda tersebut masuk lebih dalam. Penggunaan gambaran intensifikasi dapat sangat membantu dalam keadaan ini.
KOMPLIKASI PASCA OPERASI
Nyeri dan Pembengkakan
Pemahaman terhadap nyeri dan pembengkakan yang parah dan meluas pasca operasi adalah hal yang sangat umum pada pasien untuk diketahui sebelum melanjutkan bedah mulut minor, khususnya pengangkatan gigi molar ketiga. Mendirikan suatu pengukuran yang aktif untuk maksimalisasi reduksi nyeri dan bengkak pasca operasi sebagai bagian tak terpisahkan dari penanganan pasien dengan kualitas tinggi. Efesiensi analgesik sistemik sangat meningkat jika pasien diberikan blok anastesi lokal regional atau infiltrasi perioperatif (31). Pemberian blok nervus dental inferior perioperatif pada pasien yang menjalani pengangkatan gigi molar ketiga bawah dibawah pengaruh anastesi umum akan meningkatkan kontrol nyeri pada periode awal pasca operasi. Bagaimanapun, hal ini penting untuk memperingatkan pasien akan kemungkinan luka kecelakaan akibat tergigit atau kebakaran akibat suhu dari makanan dan sajian panas pada saat pemberian anastesi lokal.
Beberapa derajat pembengkakan pasca operasi yang menyertai bedah mulut minor merupakan suatu hal yang tidak dapat terelakkan walaupun perluasannya sangat bervariasi dan tidak dapat diperkirakan. Variasi in bergantung pada respon radang pasien yang berbeda-beda terhadap prosedur bedah yang sama dan tidak tergantung pada variabilitas operator. Nyeri pasca operasi dan kemampuan pasien untuk memberikan toleransi hal ini berkorelasi secara lansung dengan derajat pembengkakan pasca operasi yang timbul (32). Llewelyn dkk (33) dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah memeperlihatkan bahwa pencabutan gigi molar ketiga pasien disertai dengan pembengkakan dengan rata-rata hampir 1 cm pada hari pertama pasca operasi.
Pembengkakan pasca operasi dapat dikurangi dengan penanganan jaringan yang hati-hati dan perluasannya bergantung pada keterampilan ahli bedah (34). Khususnya retraktor dan elevator harus digunakan dengan hati-hati. Bur bedah yang berputar jangan pernah digunakan untuk merobek jaringan lunak sekitarnya atau mengabrasi mukosa bukal dan labial dan ujung dari bur harus selalu didinginkan untuk meyakinkan bahwa tulang tersebut tidak menjadi terlalu panas. Handpiece dental turbin udara yang standar menghasilkan tekanan ventilator yang tinggi. Handpiece ini tidak boleh digunakan untuk membuang tulang atau pemotongan gigi karena berhadapan dengan semprotan udara yang dapat menyebabkan empisema secara besar-besaran paa jaringan lunak disekitarnya dengan risiko selanjutnya nyeri, pembengkakan, infeksi dan nekrose pulpa.
Soket pencabutan dan kavitas patologis harus diirigasi dengan salin 0,9% dalam jumlah yang banyak untuk menghilangkan seluruh pecahan tulang dan debris. Kegagalan untuk menempatkan pengisian akar pada apeks akar dan kegagalan untuk menghilangkan kelebihan amalgam dari kevitas bedah tidak hanya menghasilkan suatu gambaran radiograf “senapan berburu” pasca operasi tetapi juga menjadi faktor pemicu kegagalan bedah dari nyeri kronis dan infeksi. Untuk mencegah kesalahan ini kavitas bedah harus ditutup dengan lembaran kasa sehingga hanya apeks dari akar gigi pada kavitas yang terlihat. Volume yang kecil dari amalgam harus dimasukkan dengan hati-hati dan segera dikondensasi. Prosedur ini dapat dipermudah dengan menggunakan amalgam carrier berbentuk khusus dan kaca pembesar. Pada saat prosedur telah selesai, kain kasa diangkat dan kavitas diirigasi dan seluruh sisa-sisa amalgam dibersihkan.
Perawatan secara farmakologis dapat digunakan sebagai tambahan pembedahan yang cermat untuk mengurangi pembengkakan pasca operasi. Kombinasi dari obat-obatan sistemik anti inflamasi steroid dan nonsteroid telah memperlihatkan hasil yang bermakna dalam menurunkan pembengkakan dan nyeri pasca operasi yang menyertai pencabutan gigi molar ketiga (35). Pemberian metilprednisolon 40 mg secara intravena segera setelah pembedahan telah menunjukkan penurunan yang bermakna pada nyeri dan pembengkakan awal pasca operasi dan menambah kepuasan pasien setelah pengangkatan gigi molar ketiga rahang bawah yang impaksi (36). Tidak tercatat adanya peningkatan kecacatan atau kelambatan penyembuhan. Meskipun sendi hypothalamic pituitary adrenal (HPA) sangat tertekan setelah pemberian dexametason dosis 8 mg tunggal secara intravena, respon HPA menjadi normal 7 hari pasca operasi (37). Pemberian dexametason 8 mg (setara dengan metilprednisolon 42,7 mg (Formulasi Nasional Inggris)) secara intavena segera setelah pembedahan dan ibuprofen 400-600 mg setiap 8 jam pasca operasi yang dipraktekan oleh penulis telah digunakan pada semua prosedur yang membutuhkan pengangkatan tulang kecuali pada kasus dimana terdapat kontra indikasi dengan alasan medis.
Infeksi
Jika gigi dan akar yang terinfeksi dan terkena abses dapat dicabut dengan mudah menggunakan tang atau elevator, dan injeksi anastesi lokal tidak ditancapkan langsung ke daerah inflamasi atau infeksi akut akan mempercepat resolusi gejala dengan menghilangkan sumber infeksinya. Penggunaan blok anastesi lokal secara regional pada daerah sekitaarnya dapat membantu meskipun kemudian analgesi bedah tidak tercapai.
Sebagaimana aturan umum, pendekatan transalveolar untuk pengangkatan gigi dan akar adalah kontraindikasi jika terdapat infeksi akut agar tidak menyebarkan infeksi ke struktur yang lebih dalam. Hal ini khususnya demikian jika molar ketiga bawah dihubungkan dengan perikoronitis akut. Pengangkatan yang tidak bijaksana dapat menghasilkan infeksi rongga parafaringeal dan obstruksi jalan nafas atas. Dimanapun pencabutan dimungkinkan setelah penundaan hingga gigi tersebut bebas infeksi selama 2-3 minggu.
Dalam kejadian yang normal dan pada keadaan dimana tidak terdapat infeksi sebelumnya, nyeri dan pembengkakan pasca operasi akan semakin berkurang setelah sekitar 48 jam. Bagaimanapun, sebaiknya daerah operasi menjadi nyeri infeksi, bengkak dan trismus gagal untuk sembuh dan meningkat sekitar waktu tersebut. Tingkat infeksi yang menyertai prosedur bedah mulut minor adalah rendah, dan dalam rangkaian pencabutan 6.713 gigi molar ketiga, hanya terdapat 3,5 % (38).
Dry socket
Dry socket atau sering pula diistilahkan sebagai alveolar osteitis, alveolitis fibrinoloktik dan fibrinoliktik sicca dolorosa adalah komplikasi pencabutan gigi yang dapat dikenal dengan baik (4). Hal ini dicirikan dengan peningkatan nyeri hebat yang mana biasanya dimulai pada hari kedua atau ketiga pasca operasi dan disekitar sisi yang diekstraksi bertahan hingga 10 sampai 40 hari. Bekuan darah pasca ekstraksi yang normal hilang dari soket gigi dinding tulang yang polos dan sangat sensitif dengan probing yang lembut. Halitosis muncul sebagi suat hal yang tak dapat dielakkan. Terdapat variasi yang besar pada tingkat insiden yang dilaporkan (1-65%) diantara rangkaian yang biasanya berkaitan dengan kriteria diagnosa yang tidak tetap, variasi dalam antimikroba profilaktik dan keberagaman sampel yang diteliti. Tingkat insiden yang sebenarnya adalah berada antara 3 dan 20% dari keseluruhan ekstraksi.
Etiologinya multifaktor tetapi pada dasarnya sebagai hasil dari lisisnya gumpalan darah normal pasca ekstraksi. Meningkatkan konsentrasi aktivator plasmanogen langsung dan tidak langsung menghasilkan peningkatan konsentrasi plasmin dan sesudah itu peningkatan degradasi fibrin untuk dapat melarutkan fragmen dengan disintegrasi dan hilangnya bekuan. Activator plasminogen direct dilepaskan dari sel tulang alveolar yang rusak. Bakteri pirogen dan estrogen, khususnya yang ditemukan dalam kontrasepsi oral merupakan aktivator plasminogen yang potensial. Diduga bahwa dry socket dihasilkan dari interaksi yang kompleks dari trauma bedah, infeksi bakteri lokal dan faktor sistemik yang bervariasi (39).
Dry socket sangat nyeri, kondisi yang melemahkan yang menghasilkan penderitaan yang sangat, rasa tidak nyaman dan kehilangan produktifitas pasien. Merupakan kondisi yang memakan waktu dan biaya untuk mendatangi klinisi sebagaimana 45% pasien akan membutuhkan setidaknya 4 kali kunjungan tambahan pasca operasi (40).
Beberapa faktor yang telah ditemukan sehubungan dengan peningkatan risiko perkembangan dry socket (38, 39, 40, 41, 42):
Pencabutan pada gigi-gigi rahang bawah dibandingkan gigi rahang atas
Pencabutan gigi molar ketiga, khususnya gigi molar ketiga bawah yang impaksi
Pencabutan tunggal
Pencabutan traumatik dan terlalu susah
Pada wanita khususnya jika bersamaan dengan penggunaan kontrasepsi oral
Pasien berusia antara 20 hingga 40 tahun
Kebersihan mulut dan kontrol plak yang jelek
Memiliki riwayat gingivitis ulseratif akut atau perikoronitis yang aktif
Merokok, utamanya jika >20 batang perhari
Peningkatan densitas tulang baik lokal maupun umum seperti penyakit Paget
Riwayat dry socket yang menyertai pencabutan sebelumnya
Ahli bedah yang kurang berpengalaman
Aplikasi klinis pada data diatas akan mengurangi insiden dry socket. Jika diperlukan, pengukuran kebersihan rongga mulut untuk mengurangi tingkat plak pada tingkat minimum sebaiknya dilakukan dan seluruh pasien sebaiknya diberikan obat kumur klorheksidin 0,12% segera sebelum operasi. Pencabutan gigi molar ketiga rahang bawah sebaiknya dihindari jika terdapat perikoronitis aktif atau gingivitis ulseratif akut. Untuk impaksi gigi molar ketiga bawah tulang sebagian atau total sulit dimana dibutuhkan pengangkatan tulang, untuk pasien immunocompromised dan untuk pasien dengan riwayat perikoronitis atau gingivitis ulseratif akut, sebaiknya diresepkan antibiotik profilaktik yang tepat. Pasien yang merokok dilarang untuk meneruskan kebisaaan merokoknya sebelum operasi dan paling kurang selama 2 minggu pasca operasi jika soket pencabutan sembuh.
Jika memungkinkan, untuk pasien perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral, pencabutan sebaiknya dilakukan pada hari ke-23 hingga 28 dari siklus tablet.
Seluruh pencabutan sebaiknya diselesaikan dengan jumlah trauma yang minimum, jumlah yang maksimum dari perhatian dan secepat mungkin setara dengan tingkat kesulitan dan pengalaman operator. Pada saat prosedur telah selesai daerah operasi seharusnya diirigasi dengan larutan salin yang banyak diikuti dengan klorheksidin 0,12% 15 ml. Pasien sebaiknya disarankan untuk menghindari berkumur kuat pada periode awal pasca operasi tetapi menggunakan sikat gigi dan berkumur klorheksidin 0,12% dengan pelan selama 7 hari pasca operasi. Semua pasien sebaiknya disarankan untuk datang kembali ke ahli bedah atau rumah sakit segera jika mereka mengalami peningkatan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman.
Dalam kasus dimana dry socket tidak dapat dihindari maka pasien sebaiknya ditangani sepanjang batas berikut: soket yang terjadi diirigasi dengan pelan dengan menggunakan klorheksidin 0,12% yang hangat dan seluruh debris dikeluarkan dan diaspirasi. Pada kasus dengan rasa nyeri yang sangat, dapat dibutuhkan pemberian anastesi lokal sebelum irigasi soket dilakukan. Dan dilakukan blok nervus regional. Soket sebaiknya dipak dengan hati-hati dengan dressing yang terdiri dari obtundent untuk mengurangi nyeri dan antiseptik non iritan untuk menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri. Dressing mencegah akumulasi kembali debris makanan dan untuk melindungi tulang yang terbuka dari iritasi. Idealnya, dressing dilepas dengan hati-hati tanpa menyebabkan reaksi inflamasi pada host atau respon benda asing. Banyak agen komersial yang tersedia yang memenuhi persyaratan ini untuk perluasan yang lebih besar atau lebih sedikit. Sebagai alternatif, kasa ¼ inci yang mengandung BIPP (Bismuth Iodoform Subnitrite Paste) dapat digunakan meskipun membutuhkan pengangkatan manual setelahnya dengan mendatangi klinisi. Jika tidak terdapat tanda infeksi sistemik maka penggunaan antibiotik tidak dubutuhkan secara rutin. Diresepkan analgesik sistemik yang sesuai dan efektif, dan perkembangan pasien dilaporkan sehari kemudian dan sering sesudah itu hingga terjadi penyembuhan sempurna. Perawatan dirumah sakit jarang diperlukan.
Bagi pasien yang menjalani bedah pengangkatan impaksi tulang sebagian atau total dari gigi molar ketiga, penggunaan antibiotik sistemik memberikan penurunan yang bermakna terhadap tingkat infeksi pasca operasi (38). Jika antibiotik bermanfaat untuk diberikan sebelum operasi dan tidak lebih dari 2 jam sebelum pembedahan (43). Tidak ada titik untuk peresepan antibiotik oral pasca operasi untuk membersihkan prosedur kontaminasi (kebanyakan dari bedah mulut minor) jika antibiotik pra operatif telah diberikan, maka tidak akan memberikan manfaat tambahan. Jika antibiotik sistemik belum diberikan, peresepan antibiotik oral pasca operasi tidak memberikan manfaat sama sekali. Kebijakan penulis untuk tidak menggunakan antibiotik untuk membersihkan pembedahan jaringan lunak yang terkontaminasi, pencabutan yang sederhana atau jaringan lunak gigi molar ketiga yang impaksi. Untuk prosedur yang melibatkan pengangkatan tulang seperti gigi molar ketiga dan apikoektomi serta tidak ada kontraindikasi medis atau farmakologi suatu Co-Amoxyclav 1,2 g tunggal secara intravena diberikan segera sebelum pembedahan dimulai. Berkumur dengan Klorheksidin 0,12% setiap 6 jam dianjurkan selama 1 minggu pasca operasi tetapi tanpa pemberian antibiotik oral.
Osteoradionekrosis
Pasien dengan kanker kepala dan leher yang dirawat dengan radioterapi sebagai cara tunggal atau sebagai bagian dari rencana perawatan banyak cara, hal ini merupakan risiko untuk berkembangnya osteoradionekrosis pada tulang daerah yang dirawat. Osteroradionekrosis sebagai akibat dari radiasi yang merangsang hipoksia, hiposelularitas dan hipovaskularitas pada jaringan (44,45). Osteoblas dan osteoklas dalam tulang yang diradioterapi dapat menyebabkan kerusakan yang mematikan dengan radiasi ionisasi walaupun masih dapat menghentikan fungsi vegetasinya (44). Karena tingkat pergantian sel tulang sangat lambat sehingga menyebabkan sedikit masalah hingga sel distimulasi untuk berpisah. Stimulus yang paling umum untuk memisahkan disediakan dengan pencabutan gigi dimana kemudian umumnya menghasilkan kerusakan tulang secara besar-besaran dan infeksi bakteri sekunder. Osteoradionekrosis memberikan rasa sakit yang sangat, melemahkan dan penyakit yang menyebabkan kemalasan sehingga menjadikan pasien hidup sangat sengsara. Komplikasi ini harus dicegah. Jalan paling efektif untuk mencegah osteoradionekrosis adalah memastikan bahwa pasien yang menerima radiasi medis pada kepala dan leher telah melalui pemeriksaan rongga mulut meliputi OPT screening. Untuk pasien dengan kanker kepala dan leher sebaiknya dilakukan pada klinik onkologi kepala leher dengan multidisiplin ilmu. Semua gigi yang ada dalam pengajuan perawatan dengan prognosis meragukan berdasarkan pada karies atau penyakit periodontal yang sebaiknya dijadwalkan untuk dicabut. Jika pasien menjalani reseksi pembedahan sebelum radioterapi, maka waktu yang tepat untuk mencabut gigi adalah selama pemeriksaan sebelum pembedahan dibawah anastesi (EUA). Jika tidak, gigi sebaiknya dicabut dibawah anastesi lokal 1 sampai 2 minggu sebelum radioterapi dimulai.
Tidak masalah bagaimana hati-hati dan meningkatan kewaspadaan, akan selalu ada keadaan dimana pasien membutuhkan pencabutan pasca radioterapi. Beberapa pencabutan sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah oromaksilofasial yang mendatangi klinik onkologi dan tidak mengutus pasien ke dokter gigi umum. Antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena segera sebelun operasi disertai dengan berkumur dengan klorheksidin 0,12% dan tepi gingival dari gigi yang akan dicabut dibersihkan dengan menggunakan larutan iodine. Pencabutan dilakukan dengan kemungkinan cara yang paling tidak menimbulkan trauma yang melibatkan penggunaan pendekatan transalveolar pilihan dan pengangkatan tulang yang bergantung pada temuan gambaran radiograf pra operatif. Antibiotik pasca operasi dan obat kumur klorheksidin dimulai dan dilanjutkan hingga soket sembuh. Terdapat bukti-bukti yang meluas bahwa osteoradionekrosis yang tidak dapat dielakkan paling baik ditangani dengan terapi oksigen hiperbarik dan debridemen bedah setelah itu (46). Pada pasien dengan risiko tinggi akan perkembangan osteoradionekrosis maka juga bijaksana untuk menggunakan terapi oksigen hiperbarik yang tersedia dan hal ini tidak akan mengganggu keterlambatan permulaan perawatan primer bagi pasien dengan kanker kepala dan leher.
DAFTAR PUSTAKA
1. Scully C, Cawson RA. Medical Problems in Dentistry. 3rd ed. Oxford: Wright,
1993.
2. Rowe AHR, Alexander AG. A Companion to Dental Studies Volume 2. Oxford:
Blackwell Scientific Publications, 1988.
3. Tetsch P, Wagner W. Operative extraction of wisdom teeth. Munich: Wolf Medical
Publications, 1985.
4. Killey HC, Seward GR, Kay LW. An outline of oral surgery, part 1. Bristol:
Wright, 1975.
5. Layton SA. Informed consent in oral and maxillofacial surgery: a study of its
efficacy. British Journal of Oral & Maxillofacial Surgery 1992; 30: 319-322.
6. Lawton (The Right Hon Lord Justice Lawton). Legal aspects of iatrogenic
disorders: discussion paper. Journal of the Royal Society of Medicine 1983; 76:
289-291.
7. Guralnick WC, Laskin DM. NIH consensus development conference for removal
of third molars. Journal of Oral Surgery 1980; 38: 235-236.
8. Williams M. Post-operative nerve damage and the removal of the mandibular third
molar: a matter of common consent. British Journal of Oral & Maxillofacial
Surgery 1996; 34: 386-388.
9. Humphris GM, O’Neill P, Field EA. Knowledge of wisdom tooth removal:
influence of an information leaflet and validation questionnaire. British Journal of
Oral & Maxillofacial Surgery 1993; 31: 355-359.
10. O’Neill P, Humphris GM, Field EA. The use of an information leaflet for patients
undergoing wisdom tooth removal. British Journal of Oral & Maxillofacial Surgery
1996; 34: 331-334.
11. Poswillo D. Obtaining consent to oral & maxillofacial surgery. Annals of the
Academy of Medicine of Singapore 1989; 18: 616-621.
12. Richardson N, Jones P, Thomas M. Should house officers obtain consent for
operation and anaesthesia? Health Trends 1996; 28: 56-59.
13. Department of Health NHS Executive. A guide to consent for examination or
treatment London: Department of Health, 1990.
14. Gillbe GV, Moore JR. Complications of extractions. In: Moore JR. Surgery of the
Mouth and Jaws. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1985: 395-408.
15. Sisk AL, Hammer WB, Shelton DW, Joy ED Jr. Complications following removal
of impacted third molars: the role of the experience of the surgeon. Journal of Oral
& Maxillofacial Surgery. 1986;44:855-9.
16. Vogler JC, Karuza J, Miller WA. Oral-surgeon-reported incidence of
complications related to simple extraction in adults. Special Care in Dentistry
1994; 14: 92-95.
17. Weinberg S. Oral surgery complications in general practice. Journal of the
Canadian Dental Association 1975; 41: 288-299.
18. McGreggor IA. Fundamental techniques of plastic surgery. 8th ed. Edinburgh:
Churchill Livingstone, 1989.
19. Schultze-Mosgau S, Reich RH. Assessment of inferior alveolar and lingual nerve
disturbances after dentoalveolar surgery, and recovery of sensitivity. International
Journal of Oral & Maxillofacial Surgery 1993; 22: 214-217.
20. Rood JP. Permanen damage to inferior alveolar nerves during the removal of
impacted mandibular third molars. Comparison of two methods of bone removal.
British Dental Journal 1992; 172: 108-110.
21. Blackburn CW, Bramley PA. Lingual nerve damage associated with removal of
lower third molars. British Dental Journal 1989; 167: 103-107.
22. Robinson PP, Smith KG. Lingual nerve damage during lower third molar removal:
a comparison of two surgical methods. British Dental Journal 1996; 180: 456-461.
23. Bramley P. Sense about wisdoms? Journal of the Royal Society of Medicine
1981; 74: 867-868.
24. Hendy CW, Robinson PP. The sensory distribution of the buccal nerve. British
Journal of Oral & Maxillofacial Surgery 1994; 32: 384-386.
25. Kiesselbach JE, Chamberlain JG. Clinical and anatomic observations on the
relationship of the lingual nerve to the mandibular third molar region. Journal of
Oral & Maxillofacial Surgery 1984; 42: 565-567.
26. Ellies LG, Hawker PB. The prevalence of altered sensation associated with
implan surgery. International Journal of Oral & Maxillofacial Implans 1993; 8:
674-679.
27. Berberi A, Le Breton G, Mani J, Woimant H, Nasseh I. Lingual paraesthesia
following surgical placement of implans: report of a case. International Journal of
Oral & Maxillofacial Implans 1993; 8: 580-582.
28. Rosenquist B. Fixture placement posterior to the mental foramen with
transpositioning of the inferior alveolar nerve. International Journal of Oral &
Maxillofacial Implans 1992; 7: 45-50.
29. Krogh, PHJ. Does the risk of complication make transpositioning of the inferior
alveolar nerve in conjunction with implan placement a last resort surgical
procedure? International Journal of Oral & Maxillofacial Implans 1994; 9: 249-
250.
30. Ramstrom G, Sindet-Pederson S, Hall G, Blomback M, Alander U. Prevention of
post-surgical bleeding in oral surgery using tranexamic acid without dose
modification of oral anticoagulants. Journal of Oral & Maxillofacial Surgery
1993; 51: 1211-1216.
31. Meyer RA, Chinn MA. Prolonged postoperative analgesia with regional nerve
blocks. Journal of Oral Surgery 1968; 26: 182-184.
32. MacGregor AJ, Hart P. Effect of bacteria and other faktors on pain and swelling
after removal of ectopic mandibular third molars. Journal of Oral Surgery 1969;
27: 174-179.
33. Llewelyn J, Ryan M, Santosh C. The use of magnetic resonance imaging to assess
swelling after the removal of third molar teeth. British Journal of Oral &
Maxillofacial Surgery 1996; 34: 419-423.
34. Osbon DB. Postoperative complications following dentoalveolar surgery. Dental
Clinics of North America 1973; 17: 483-504.
35. Schultze-Mosgau S, Schmelzeisen R, Frolich JC, Schmele H. Use of ibuprofen
and methylprednisolone for the prevention of pain and swelling after removal of
impacted third molars. Journal of Oral & Maxillofacial Surgery 1995; 53: 2-7.
36. Holland CS. The influence of methylprednisolone on post-operative swelling
following oral surgery. British Journal of Oral & Maxillofacial Surgery 1987; 25:
293-299.
37. Williamson LW, Lorson EL, Osbon DB. Hypothalamic-pituitary-adrenal
suppression after short term dexamethasone therapy for oral surgical procedures.
Journal of Oral Surgery 1980; 38: 20-27.
38. Piecuch JF, Arzadon J, Lieblich SE. Prophylactic antibiotiks for third molar
surgery. Journal of Oral & Maxillofacial Surgery 1995; 53: 53-60.
39. Birn H. Etiology and pathogenesis of fibrinolytic alveolitis (“Dry Socket”).
International Journal of Oral Surgery. 1973; 2: 211-263
40. Larsen PE. The effect of chlorhexidine rinse on the incidence of alveolar osteitis
following the surgical removal of impacted mandibular third molars. Journal of
Oral & Maxillofacial Surgery 1991; 49: 932-937.
41. Catellani JE, Harvey S, Erickson SH, Cherkin D. Effect of oral contraceptive cycle on dry socket (lokalized alveolar osteitis). Journal of the American Dental
Association. 1980; 101: 777-780.
42. Meechan JG, Macgregor ID, Rogers SN, Hobson RS, Bate JP, Dennison M. The
effect of smoking on immediate post-extraction socket filling with blood and on the
incidence of painful socket. British Journal of Oral & Maxillofacial Surgery. 1988;
26: 402-409.
43. Classesn DC, Evans RS, Pestotnik SL, Horn SN, Menlove RL, Burke JP. The
timing of prophylactic administration of antibiotiks and the risk of surgical wound
infection. The New England Journal of Medicine 1992; 326: 281-286.
44. Marx RE. Osteoradionecrosis: A new concept of its pathophysiology. Journal of
Oral & Maxillofacial Surgery 1983; 41: 283-288
45. Wood GA, Liggins SJ. Does hyperbaric oxygen have a role in the management of
osteoradionecrosis? British Journal of Oral & Maxillofacial Surgery 1996; 34:
424-427.
46. Marx RE. A new concept in the treatment of osteoradionecrosis. Journal of Oral
& Maxillofacial Surgery 1983; 41: 351-357.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar